Pemujaan Arca Oleh Umat Hindu
Konsep pemujaan terhadap murti atau arca Tuhan dan berbagai penjelmaan-Nya merupakan ciri pokok cara sembahyang dalam agama Hindu. Sebaliknya, dalam ajaran agama lain cara tersebut dipandang sebagai sebuah jalan kesesatan. Islam dan Kristen misalnya, melarang keras pemujaan terhadap obyek sembahyang apapun yang diciptakan oleh manusia. Umat Hindu dituduh sebagai pemuja berhala. Celakanya, pemujaan terhadap berhala inilah yang sering dijadikan sebagai alasan untuk “menyelamatkan” orang-orang Hindu.
Sebagai generasi muda Hindu, kita tentu kenyang dengan pengalaman menghadapi pertanyaan yang sering membuat kita jadi merasa nggak percaya diri untuk mengaku beragama Hindu. Tidaklah mengherankan jika sebagian dari saudara Hindu kita pada akhirnya tertarik untuk “diselamatkan”. Kita tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja. Sepintas lalu, kita memang bisa goyah dengan argumen-argumen valid yang memojokkan cara pemujaan yang kita lakukan. Masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah berarti kita membatasi Tuhan kalau Tuhan kita puja dalam wujud tertentu? Apakah bukan pelecehan besar kalau kita mempersamakan Tuhan dengan benda-benda ciptaan-Nya? Apakah Tuhan orang Hindu terus-terusan lapar, hingga tiap hari harus disuguhi dan persembahkan aneka makanan? Apalagi kalau mereka melihat banten-banten di Bali yang diisi Cola Cola atau Sprite dan buahbuahan serba impor, mereka akan berkomentar, “Wah, tinggi juga selera Tuhan orang Hindu, ya?” Sewajarnya mereka akan menantang kita dengan mempertanyakan konsep ketuhanan kita, yang kelihatannya jauh berbeda dengan konsep yang mereka miliki : tidakkah Tuhan Maha Kaya? Bukankah Tuhan tidak berwujud? Suatu kesempatan, saat ditanya mengenai cara sembahyang orang Hindu yang pakai patung itu, saya pernah menjelaskan bahwa menurut Weda, Tuhan ada di mana-mana. Karena itu, Beliau juga ada dalam setiap “patung” yang kita puja. Mendengar jawaban itu, lawan bicara saya yang kebetulan seorang Kristiani, dan kandidat doktor pada salah satu universitas terkemuka di Yogya ini, mengejar saya dengan pertanyaan memojokkan. “Lho, kalau Tuhan ada di mana-mana, seperti Anda bilang, bukankah Tuhan juga ada di lantai yang kita injak ini? Mengapa lantai ini boleh seenaknya kita injak, tapi patung-patung itu kita sembah? Apa bedanya? Apakah itu bukan diskriminasi?” sanggahnya penuh nada kemenangan.
Saya sempat terdiam juga mendengar itu. Pertanyaannya masuk akal, wajar sekali. Boleh juga logika dan nalarnya. Lalu, bagaimana menjawab pertanyaannya yang memojokkan itu? Adakah jawaban yang lebih tepat untuk menjelaskan mengapa kita menghormati bentuk-bentuk tertentu, sedangkan bentuk lainnya tidak? Adakah penjelasan menurut uraian kitab suci Weda untuk menjawab kritikan itu?
Sumber: Newsletter Narayana Smrti Ashram Yogyakarta
______________________________________________
Apakah Tuhan orang Hindu (kalau memang benar Tuhan itu lebih dari satu) juga menjadi cemburu kalau umat Hindu sembahyang kepada arca? Apakah umat Buddha yang bersembahyang kepada patung Buddha juga memiliki Tuhan yang suka cemburu? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, dapat kita awali dengan terlebih dahulu menjelaskan arti kata “arca”. Bukankah kata “arca” asalnya dari bahasa Sanskerta yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia?Dalam perkembangannya, kata ‘arca’ kemudian identik dengan kata patung atau berhala, dan sering dimaknai secara negatif. Sembahyang umat Hindu kepada Tuhan dengan penggunaan sarana arca, dicap sebagai kegiatan pemujaan terhadap berhala, dan penghinaan kepada Tuhan. Padahal, dalam kitab-kitab Weda, cara
sembahyang kepada Tuhan melalui perantaraan arcavigraha adalah sebuah anjuran bagi mereka yang ingin maju dalam jalan mendekatkan diri kepada Tuhan. Benarkah? Mari kita kaji bersama uraian beberapa kitab Weda berikut. Sumber referensi utama dalam pembahasan ini adalah kitab Srimad Bhagavatam atau kitab Bhagavata Purana, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris oleh His Divine Grace A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada.
Pada umumnya masyarakat telah mengenal dan mempelajari Bhagavad-gita yang berisi ajaran rohani Sri Krishna kepada Arjuna, sebelum mulainya perang Bharatayuda. Namun, tidak banyak umat Hindu yang mengenal dan mempelajari kitab Uddhavagita, yaitu ajaran rohani Sri Krishna kepada sekretaris pribadinya, Uddhava, pada saat Sri Krishna hmengakhiri kegiatan rohani-Nya di bumi ini. Bhagavad-gita sering dipelajari sebagai kitab tersendiri, meskipun sebenarnya ia merupakan bagian dari kitab Mahabharata, yaitu Bab 25 sampai dengan Bab 42 Bhisma Parva (Bhagavad-gita terdiri dari 18 bab). Begitu pula, kitab Uddhava-gita merupakan bagian dari kitab Bhagavata Purana atau dikenal pula sebagai Srimad Bhagavatam, khususnya Sloka 11.14.1 sampai dengan 11.29.49. Para sarjana Weda, khususnya para Waishnawa menjuluki kitab Bhagavata Purana sebagai ensiklopedi ilmu tentang Tuhan. Dalam kitab inilah, diuraikan secara panjang lebar, bahwa dalam Weda, Tuhan diinsyafi atau disadari dalam tiga aspek, yaitu sebagai Brahman, Paramatman, dan Bhagavan.
Uddhava bersujud di kaki Sri Krshna sambil meneteskan air mata. Pada saat inilah Uddhava menerima pelajaran tatacara sembahyang kepada arca-vigraha Tuhan.
vadanti tat tattva-vidas
tattvaà yaj jïänam advayam
brahmeti paramätmeti
bhagavän iti çabdyate
“Learned transcendentalists who know the Absolute Truth call this nondual substance Brahman, Paramätmä or Bhagavän” (Bhagavata Purana 1.2.11)
Terjemahan : “Para rohaniwan terpelajar yang mengenal Kebenaran Mutlak, menjuluki zat yang tidak nisbi tersebut Brahman, Paramatma, atau Bhagavan”.
Selanjutnya, dalam sloka 1.3.28, dinyatakan bahwa kåñëas tu bhagavän svayam, artinya Sri Krishna adalah Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavan). Dari kata Bhagavan ini, lahirlah nama Bhagavad-gita (Song of God, atau Nyanyian Tuhan), serta nama kitab “Bhagavata Purana”, yang berarti “sejarah kegiatan rohani dan pengetahuan tentang Kepribadian Tuhan Yang Mahaesa”. Itulah sebabnya, kalau kita cermati, mengapa dalam sloka-sloka bhagavad-gita, setiap Kali Sri Krishna bersabda, ayat Sanskertanya berbunyi : “sri bhagavan uvaca”. Begitupun dalam kitab Bhagavata Purana dan lain-lainnya. Baiklah, setelah kita ketahui secara ringkas tentang Uddhava-gita, marilah kita bahas kembali ayat-ayat yang mengajarkan pemujaan kepada arca-vigraha, sebagaimana yang diajarkan oleh Sri Krishna kepada Uddhava. Uddhava bertanya kepada Sri Krishna sebagai berikut :
çré-uddhava uväca
kriyä-yogaà samäcakñva
bhavad-ärädhanaà prabho
yasmät tväà ye yathärcanti
sätvatäù sätvatarñabha
Sri Uddhava bertanya: Wahai Sri Krishna, tuan bagi para penyembah, mohon menjelaskan cara yang telah ditetapkan dalam menyembah Anda dalam wujud Anda sebagai arca. Bagaimana kualifikasi para bhakta yang memuja arca, atas dasar apa pemujaan seperti itu dilakukan, dan bagaimanakah cara pemujaannya secara
rinci? (Bhagavatam11.27.1)
etad vadanti munayo
muhur niùçreyasaà nåëäm
närado bhagavän vyäsa
äcäryo ‘ìgirasaù sutaù
“Resi-resi yang mulia menyatakan bahwa pemujaan arca seperti itu memberikan manfaat terbesar bagi kehidupan manusia. Itulah pendapat NaradaMuni, rsi agung Vyasadeva, dan pendapat guru saya sendiri, Båhaspati (aìgirasaù sutaù) (Bhagavatam 11.27.2) Muni, rsi agung Vyasadeva, dan pendapat guru saya sendiri, Båhaspati (aìgirasaù sutaù) (Bhagavatam 11.27.2)
niùsåtaà te mukhämbhojäd
yad äha bhagavän ajaù
putrebhyo bhågu-mukhyebhyo
devyai ca bhagavän bhavaù
etad vai sarva-varëänäm
äçramäëäà ca sammatam
çreyasäm uttamaà manye
stré-çüdräëäà ca mäna-da
“Wahai Sri Krishna yang paling murah hati, ajaran mengenai proses pemujaan Arca tersebut, pertama kali terpancar dari bibir padma Anda sendiri. Selanjutnya, pengetahuan tersebut diajarkan oleh Brahma kepada putraputranya yang dipimpin oleh Resi Bhrgu, Dewa Siwa mengajarkannya kepada Parvati (devyai ca bhagavän bhavaù). Proses seperti itu diterima dan cocok bagi semua
golongan masyarakat dan tingkatan hidup manapun (sarva-varëänäm äçramäëäà). Karena itulah, saya menganggap bahwa proses pemujaan arca ini bermanfaat bagi semua praktek spiritual, bahkan bagi para wanita dan sudra”. (Bhagavatam 11.27.5-6)
Sri Krishna menjawab pertanyaan Uddhava dengan menyatakan sebagai berikut :
vaidikas täntriko miçra
iti me tri-vidho makhaù
trayäëäm épsitenaiva
vidhinä mäà samarcaret
“Hendaknya seseorang memuja-Ku dengan penuh kehati-hatian dengan memilih salah satu cara pemujaan yang telah ditetapkan untuk memuja-Ku, yaitu : Vaidika, tantra, atau gabungan keduanya.
arcäyäà sthaëòile ‘gnau vä
sürye väpsu hådi dvijaù
dravyeëa bhakti-yukto ‘rcet
sva-guruà mäm amäyayä “Seorang dvija (orang yang sudah dilahirkan dua kali, atau orang yang sudah punya guru spiritual) harus menyembah-Ku, sepenuh hati (tanpa sikap mendua), mempersembahkanberbagai perlengkapan
dengan cinta Bhakti kepada wujud-Ku sebagai arca, atau kepada wujud-Ku yang muncul dalam tanah, dalam api, dalam matahari, dalam air, atau dalam hati penyembah itu sendiri”.(Bhagavatam 11.27.9)
sandhyopästyädi-karmäëi
vedenäcoditäni me
püjäà taiù kalpayet samyaksaìkalpaù
karma-pävaném
“Dengan memusatkan pikirannya kepada-Ku, seseorang hendaknya memuja-Ku dengan melakukan tugas kewajiban yang telah ditetapkan baginya. Misalnya dengan mengucapkan gayatri mantra tiga kali sehari (pagi, siang, dan senja hari). Kegiatan seperti itu diperintahkan dalam Weda, dan akan menyucikan hati orang yang melakukannya dari keinginan untuk mendapatkan hasil dari perbuatannya.” Mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat arca Krsihna menyebutkan sebagai berikut :
çailé däru-mayé lauhé
lepyä lekhyä ca saikaté
mano-mayé maëi-mayé
pratimäñöa-vidhä småtä
Dinyatakan bahwa Arca Tuhan dapat muncul dalam delapan jenis bahan: dari batu, kayu, , logam, tanah, cat, pasir,
pikiran, dan permata. (Bhagavatam 11.27.12). Jelaslah dalam hal ini, bahwa pada saat umat Hindu membuat arca Tuhan dari batu atau logam, tidak berarti bahwa mereka sedang menghina Tuhan karena mempersamakan Tuhan dengan batu. Toh, batu dan bahan-bahan lainnya, semuanya adalah ciptaan Tuhan. Dan Tuhan sendiri yang mengijinkan Diri Beliau dipuja dalam bentuk yang dapat dilihat oleh mata manusia yang terbatas ini.
Mengapa Kita Perlu Perantara Arca?
Apa sesungguhnya tujuan kita bersembahyang dan memuja Tuhan? Kalau kita mau jujur, kebanyakan orang sembahyang hanya karena ingin menjadikan Tuhan sekedar sebagai “order supplier” atau “tempat pesan & penyedia”
barang-barang kebutuhan kita. Kita sembahyang dan mendekatkan diri kepada Tuhan karena butuh sesuatu, dan
karenanya dengan enteng kita main perintah kepada Tuhan :”Tuhan, berikan kami rejeki pada hari ini….beri kami perlindungan, jauhkan kami dari segala bahaya, jangan beri kami cobaan, dst….dst…..”
Atau, orang bersembahyang kepada Tuhan hanya karena ingin mendapat pahala, takut pada ancaman dijebloskan ke dalam api neraka kalau tidak melakukannya. Yang paling banyak, orang ingat pada Tuhan hanya saat dia dalam duka dan kesedihan. Padahal, tujuan tertinggi pemujaan kepada Tuhan menurut Weda adalah agar kita pada akhirnya dapat mencapai pembebasan atau moksa.
Yaitu terlepasnya atman dari perputaran kelahiran dan kematian yang dialami berulang kali ke dunia material ini, atau terbebas dari samsara. Pembebasan itu hanya dapat dicapai, bila seseorang telah berhasil kembali pulang ke dunia rohani, atau memasuki kerajaan Tuhan. Mengenai sifat alam rohani tersebut, diuraikan dalam Bhagavad-gita sebagai berikut:
“Dari planet tertinggi di dunia material sampai dengan planet yang lebih rendah, semuanya tempat-tempat kesengsaraan, tempat kelahiran dan kematian dialami berulangkali. Tetapi orang yang mencapai tempat tinggal-Ku tidak akan pernah dilahirkan lagi, wahai Arjuna “(8.16)
“Tempat tinggal-Ku yang paling utama itu tidak diterangi oleh matahari, bulan, api, maupun listrik. Orang yang mencapai tempat tinggal itu tidak pernah kembali lagi ke dunia material ini” (15.6)
“Sesudah mencapai kepada-Ku, roh-roh yang mulia, yogi-yogi dalam bhakti, tidak pernah kembali lagi kedunia fana yang penuh kesengsaraan, sebab mereka sudah mencapai kesempurnaan tertinggi” (8.15)
Disebutkan pula, bahwa syarat untuk dapat mencapai kepada Tuhan adalah, kita harus mencintai Tuhan. Tapi ingat, pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang” ataupun “To Know is To Love” juga berlaku dalam hubungan kita dengan Tuhan. Bagaimana kita bisa jatuh cinta kepada Tuhan, kalau kita tidak pernah kenal Beliau? Bukankah “cinta” adalah “take and give” – member dan menerima? Lalu pertanyaannya, bagaimana kita bisa mencintai Tuhan, kalau ternyata Tuhan tidak berwujud, tidak memiliki sifat, tidak terkatakan, tidak terdeskripsikan dan tidak…tidak….tidak….lainnya? Inilah persoalannya. Bagaimana kita bisa “memberi” sesuatu kepada Tuhan, kalau mata kita tidak bisa melihat-Nya? Kita sering mendengar ada orang yang langsung “fall in love on the first sight”, jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu karena ada obyek yang dapat dilihat dan dapat dipandang. Dari mata turun ke hati…..
Bagaimana proses “dari mata turun ke hati” ini bisa kita terapkan pada Tuhan? Mustahil, karena berbagai alas an. Pertama, keterbatasan panca indera kita. Tuhan mungkin sudah hadir di depan mata kita, tapi mata kita memang tidak mampu melihatnya. Telinga kita tak mampu mendengar bisikan lembut Tuhan, yang mungkin sudah sangat dekat ke telinga kita. Mengapa? Karena frekuensinya berbeda, panjang gelombangnya berbeda! Maksudnya? Ingat, dalam ilmu fisika dikenal istilah cahaya tampak dan cahaya tak tampak. Mata hanya bisa melihat cahaya dengan panjang gelombang antara 4000 Amstrong sampai 7000 Amstrong. Telinga kita hanya bisa mendengar suara yang
panjang gelombangnya antara 20 Hz sampai dengan 20 kHz. Kalau mau jujur, kemampuan telinga kita kalah dengan
telinga kelelawar dan telinga anjing. Di mata kita, matahari hanya sebesar bulatan bola kaki, padahal ukuran matahari sebenarnya 14 kali ukuran bumi. Bintangbintang seolah hanya muncul pada malam hari, menghilang pada siang hari. Padahal kenyataannya bintang-bintang tidak pernah menghilang. Di udara sekitar kita sebenarnya berseliweran film, siaran televisi, siaran radio, orang lagi asyik mojok pakai telpon, dan lain-lain. Tapi, toh mata dan
telinga kita tidak mampu melihat dan mendengarnya. Setelah kita memanfaatkan televisi, menyetel radio atau menggunakan alat bantu lainnya, Itulah sebabnya, selama ini secara umum manusia menyimpulkan bahwa Tuhan tidak berwujud, tidak terpikirkan, tidak terbayangkan, dan diluar segala sifat yang dapat diterapkan pada diri manusia. Tuhan disebut Acintya, tak terpikirkan.
Lalu, bagaimana solusinya? Padahal, kalau mau jujur, kita tidak pernah bisa bersembahyang pada kekosongan. Saat
berdoa, sembahyang, ataupun melakukan pemujaan, pastilah pikiran kita membayangkan suatu figur, sosok, bentuk,
wujud, konsep, atau gambaran tertentu, yang kita jadikan sebagai obyek untuk pemusatan pikiran. Bukankah demikian? Entah itu berupa “cahaya menyilaukan”, “orang tua yang agung dan bijak”, “omkara”, “gambar Jesus”, “Kaligrafi Allah” tanda salib, dan sebagainya dan seterusnya. Selalu ada sesuatu yang kita wujudkan – baik secara sadar ataupun tidak sadar – dalam pikiran kita, sebuah obyek yang dapat kita jadikan sebagai tempat mencurahkan
kesedihan, duka cita, ataupun permohonan – permohonan kita. Bukankah umat Islam juga diwajibkan untuk menghadap ke arah “kiblah” yaitu berupa Ka’bah yang berada di kota Mekah, Arab Saudi? Arah menghadapnya bisa ke barat, timur, utara, selatan, tenggara, dan sebagainya, tergantung pada arah mana kota Mekah kalau dilihat
dari negara di mana umat Islam berada. Bukankah, Islam yang mengajarkan agar orang tidak menggambarkan wujud Allah pun, masih menganjurkan agar umatnya sembahyang dengan menghadap ke arah Ka’bah sebagai pusat konsentrasi? Bukankah Ka’bah juga terbuat dari batu? Demikianlah, pada dasarnya, orang tidak bisa sembahyang pada kekosongan. Kalau kita pelajari secara mendalam dan menyeluruh ayat-ayat Weda, maka akan kita temukan uraian-uraian bahwa Tuhan memiliki wujud rohani, Tuhan memiliki badan rohani. Kebenaran Tertinggi menurut Weda adalah dalam bentuk Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavan). Sebagaimana sebuah negara memiliki pemerintahan, maka akan ada seseorang yang bersifat individu yang menjadi kepala pemerintahan.
Salah satu keunikan dan kelengkapan kitab Weda adalah, ia menguraikan secara sangat lengkap sifatsifat, wujud dan kegiatan Tuhan, yang tidak dapat ditemukan dalam kitab suci lainnya. Mungkin ada yang bertanya, tidakkah wujud Tuhan itu hanyalah hasil penggambaran dan imajinasi manusia semata? Jawabannya tidak. Menurut Weda, Tuhan tahu pasti bahwa manusia tidak akan pernah mampu memikirkan atau membayangkan wujud-Nya. Itu semua berada di luar batas kemampuan manusia. Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Bukankah manusia tidak akan bisa mencintai Tuhan, kalau manusia tidak memiliki gambaran apapun tentang Tuhan?
Contoh tipuan pandangan mata. Cobalah terka : Gambar seorang gadis muda berbulu mata lentik, ataukah seorang nenek berhidung besar?
Tentu saja, semua itu bisa teratasi, bila Tuhan yang berinisiatif, Tuhan yang harus “mengalah”, dengan menampakkan diri kepada manusia. Tuhan memiliki hak prerogatif untuk melakukan itu kepada yang dikehendaki-Nya. Pihak Tuhan lah yang harus berinisiatif untuk memberitahu manusia tentang sifat-sifat, wujud dan kegiatan-Nya, tentu sejauh dan sebatas yang dapat dimengerti dan dipahami oleh otak manusia yang serba terbatas ini. Itulah yang terjadi dalam kitab Weda, yang tidak dapat dijumpai dalam kitabkitab lainnya di dunia. Kalau kita mau secara obyektif mempelajari dan membandingkan kelengkapan informasi atau pengetahuan tentang Tuhan, alam rohani, dan kegiatan-kegiatan Tuhan yang tersajikan dalam berbagai kitab suci di dunia, maka kitab Weda lah yangmenyediakan informasi paling lengkap mengenai hal itu. Jangan mengatakan tidak sebelum Anda membuktikannya.
Sekali lagi, indera manusia hanya bisa menangkap dan memahami hal-hal yang bersifat material, sedangkan Tuhan bersifat rohani atau spiritual. Oleh karena itu, Tuhan berkenan hadir dalam wujud arca atau murti yang terbuat dari bahan-bahan material, yang dapat dilihat dan diraba oleh indera manusia. Arca atau murti boleh dibuat dari bahan kayu, batu, logam, tanah liat, cat, dan sebagainya.
Satu lagi contoh tipuan optis, bukti keterbatasan kemampuan indria mata kita! Cobalah terka : Gambar sebuah gelas atau gambar dua wajah?
Tuhan Maha Hebat, Beliau mampu mengubah sesuatu yang bersifat material menjadi bersifat spiritual, begitu pula sebaliknya, sesuai dengankehendak-Nya. Apa sulitnya bagi Tuhan untuk “masuk” ke dalam arca atau murti itu, untuk menerima bhakti dan persembahan dari pemuja-Nya yang berbhakti dengan hati dan keinginan yang tulus? Bukankah batu, kayu, logam, atau bahan-bahan lainnya, toh semuanya adalah ciptaan Tuhan Sendiri? Apakah kita akan disebut menghina dan menyekutukan Tuhan, kalau kita manfaatkan benda-benda ciptaan Tuhan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sering kita mendengar pernyataan bahwa Tuhan berada di mana-mana. Kalau kemudian saya bertanya : “ Tuhan ada di mana-mana. Apakah itu berarti Tuhan juga ada di dalam arca? Mampukah Tuhan masuk, berada dan bersemayam dalam arca yang dipuja oleh umat Hindu itu?” Mendengar itu, banyak orang yang serta merta menjawab: “Ah…tidak mungkin dong…Tuhan tidak mungkin ada di arca. Arca’kan buatan manusia?Tidak mungkin Tuhan ada dalam benda-benda ciptaan manusia!”
Lalu, kita bisa mengejar jawaban itu dengan menyimpulkan begini: “Oh, jadi Tuhan kalah dengan manusia? Manusia lebih hebat dari Tuhan, karena mampu menciptakan sesuatu yang membuat Tuhan tidak mampu memasukinya? Tuhan yang tadinya ada dimana-mana, Maha Ada, menjadi tidak berdaya menghadapi benda-benda
ciptaan manusia! Bukankah itu berarti Tuhan juga tidak mampu berada dalam masjid, gereja, pura, atau wihara,
karena semua tempat-tempat itu adalah ciptaan manusia?” Lalu, apa gunanya kita sembahyang di pura, masjid atau gereja?
Kita semua pasti sepakat, bahwa Tuhan mampu berada di dalam segala sesuatu! Asal, Beliau Mau! Kalau tidak, apa hebatnya Tuhan? Karena itulah, salah satu nama Tuhan dalam bahasa Sanskerta adalah “Wishnu”, yang artinya “Dia yang merasuk dan bersemayam dalam segala sesuatu. Bukankah ternyata justru manusia yang membatasi Tuhan? Tuhan tidak mungkin begini, Tuhan tidak boleh begitu. Tuhan bukan ini dan bukan itu! Karena itu, kalau kita menyembah Tuhan dalam wujud arca atau pratima, kita dianggap membatasi Tuhan. Masak sih Tuhan seperti batu?
Pertanyaannya, benarkah Tuhan memang akan terbatasi oleh batasan-batasan manusia? Mampukah batasan-batasan kita itu benar-benar membatasi Tuhan yang Tanpa Batas itu?
Alasan itulah yang melandasi konsep pemujaan arca atau murti yang dijelaskan dalam kitab-kitab Weda. Tuhan sadar betul akan kemampuan manusia, sehingga Beliau memberikan fasilitas kepada kita untuk melakukan pemujaan kepada-Nya, melalui wujud-Nya yang dapat kita lihat, kita raba, dan kita layani dengan indera-indera kita.
Oleh karena itulah Sri Krishna memberikan penjelasan tata cara pembuatan dan pemujaan arca vigraha secara lengkap kepada Uddhava. Jadi, dalam hal ini, Tuhan Sendirilah yang memberikan petunjuk dan mengijinkan pemujaan arca yang dilakukan oleh umat Hindu. Sudah barang tentu, “Tuhan umat Hindu” tidak pernah cemburu, kalau ada umat-Nya yang menyembah perwujudan atau simbol tertentu sebagai perantara. Satu hal yang harus diingat, orang tidak boleh membentuk arca sesuka hatinya, lalu menjadikan itu sebagai Tuhan pujaannya. Arca harus dibuat menurut aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab Weda. Ada mantra-mantra khusus yang ditetapkan untuk “mengundang” Tuhan agar berkenan bersemayam dalam arca yang kita buat dan menerima pemujaan kita. Kalau kita ingin agar surat kita sampai kepada tujuan, maka kita harus memasukkan surat kita ke dalam kotak surat yang resmi, yang dibuat oleh pihak pemerintah atau swasta yang berwenang untuk hal itu. Kita tidak bisa membuat kotak surat sendiri, memasukkan surat kita ke dalamnya, lalu berharap surat itu akan sampai tujuannya. Begitu pula dengan arca, kita tidak boleh membuatnya menurut selera kita sendiri. Misalnya, seorang pemuja Siwa yang memuja linggam Siwa. Bentuk linggam yang ada seperti sekarang, bukanlah hasil imajinasi liar manusia semata. Juga, penggambaran Siwa yang berkalung ular kobra, atau Ganesha yang berbadan manusia erkepala gajah. Brahma digambarkan berkepala empat, Wishnu berlengan empat, atau Krishna yang memegang seruling, adalah berdasarkan pada informasi yang ada dalam Weda.
Lho, kok Pilih Kasih???
Penjelasan konsep pemujaan arca seperti yang telah disajikan di atas, seringkali masih menyisakan pertanyaan lain yang tidak kalah memojokkan. Kalau benar Tuhan ada di mana-mana, termasuk di dalam arca ditempat sembahyang,
Bukankah berarti Tuhan juga ada di lantai yang kita injak-injak setiap hari? Kenapa kita pilih kasih, hanya hormat kepada Tuhan yang di dalam arca, sementara dengan seenaknya “menghina Tuhan” di dalam lantai? Juga, kenapa orang marah kalau ada arca atau murti yang dirusak atau dihancurkan? Tidakkah itu namanya diskriminatif? Jawabnya, akan sama dengan jawaban terhadap pertanyaan : Kenapa orang menghormat kepada bendera negaranya, padahal bendera itu tidak lebih dari secarik kain? Kenapa orang mau mengangkat tangan dengan sikap hormat pada saat upacara penaikan bendera merah putih? Mengapa orang Indonesia marah besar kalau misalnya ada orang Australia yang demo dan membakar kain merah putih, bendera Indonesia? Mengapa kita tidak marah, kalau ada orang menginjak-injak kain warna merah dan kain warna putih yang tidak dijahit sebagai bendera? Tidakkah itu berarti juga diskriminatif, pilih kasih???
Jadi, yang dihormati bukanlah secarik kain merah putih itu semata, melainkan sesuatu yang disimbolkannya. Bendera merah putih adalah simbol sebuah negara, sebuah bangsa, sebuah harga diri, sebuah kehormatan, yaitu Indonesia. Kain merah yang dijahit di atas kain putih, identik dengan Indonesia. Kalau itu dibakar, orang Indonesia
akan rela mengorbankan nyawanya. Padahal, kalau ada orang menginjak atau membakar seragam anak-anak sekolah dasar, yang jelas-jelas juga merah putih, apakah orang juga akan tersinggung dan marah besar? Seperti halnya bendera tadi, begitu pula masalahnya dengan Tuhan yang “berada” dalam arca, dengan Tuhan yang berada dalam lantai. Orang marah kalau arca dirusak, karena yang dirusak adalah simbol kehadiran Tuhan yang dipujanya. Kesimpulannya, umat Hindu bukanlah pemuja berhala. Umat Hindu tidak menyekutukan Tuhan, ketika mereka bersembahyang kepada Tuhan dengan perantaraan arca vigraha. Justru umat Hindu sangat jujur, mengakui ketidakmampuan panca inderanya yang bersifat material untuk melihat dan merasakan kehadiran Tuhan yang bersifat spiritual. Manusia hanya mampu melihat dan mengapresiasi hal-hal material yang kasat mata. Diakui atau tidak, toh setiap orang butuh bayangan atau gambaran sebuah obyek yang dalam pikirannya dianggap sebagai Tuhan.
Tuhan adalah pemilik segala sesuatu, sumber segala sesuatu, baik yang bersifat material maupun spiritual. Karena manusia hanya bisa melihat yang material, karena rasa kasih-Nya, Tuhan berkenan hadir dalam bentuk-bentuk yang terbuat dari bahanbahan material guna menerima pelayanan bhakti dari para penyembah-Nya. Ada sebuah kenyataan menarik dalam cara sembahyang kepada arca ini. Dulu, saat Inggeris masih menjajah India, para misionaris dan pendeta Kristen mengejek dan mengolok-olok habis-habisan arca Jagannath (Krishna), Baladeva dan Subhadra, yang sedang diarak diatas kereta dijalan-jalan besar oleh ribuan orang Hindu di kota Jagannath Puri. Mereka menulis artikel-artikel di surat kabar dan media lain yang terbit saat itu, menyebut arca-arca tersebut sebagai bukti meprimitifan penduduk India yang masih memuja batu-batu yang dipoles.
Sekarang kejayaan Inggeris sebagai negara penjajah telah berakhir, Inggeris tidak lagi memiliki taring. Sebaliknya, gentian arca-arca India yang sekarang “menjajah” penduduk Inggeris dan negara-negara lainnya. Sejak tahun 1971, acara Ratha Yatra yang dulu ditertawakan oleh para misionaris itu, kini justru menjadi acara yang dinanti-nantikan oleh orang-orang Barat yang telah beralih menganut agama Hindu. Kuil-kuil Hindu lengkap dengan arca Krishna, Caitanya, Wishnu, Siwa, Ganesh dan lain-lainnya kini dapat kita jumpai hampir diseluruh kota besar di dunia. Orang-orang Barat yang mengutamakan rasionalitas dan materialis, kini berangsurangsur mengerti, bahwa cara sembahyang kepada arca vigraha Tuhan bukanlah idolatry atau pemujaan berhala. Mereka sadar, bahwa orang Islam pun masih wajib sembahyang menghadap Ka’bah di kota Mekah. Orang Katholik masih menempatkan patung Yesus pada gereja-gereja mereka. Toh, orang yang tidak pakai arca yang terbuat dari bahan-bahan kasar, juga masih memuja “arca” yang terbuat dari bahan “halus”, yang mereka gambarkan dalam pikiran mereka masing-masing. Bukankah demikian? Jadi, umat Hindu pemuja arca, bukan penyembah berhala.
Banggalah menjadi Hindu!