Monthly Archives: Januari 2011

Pemujaan Arca Oleh Umat Hindu

Pemujaan Arca Oleh Umat Hindu

Pembaca yang terhormat,

Konsep pemujaan terhadap murti atau arca Tuhan dan berbagai penjelmaan-Nya merupakan ciri pokok cara sembahyang dalam agama Hindu. Sebaliknya, dalam ajaran agama lain cara tersebut dipandang sebagai sebuah jalan kesesatan. Islam dan Kristen misalnya, melarang keras pemujaan terhadap obyek sembahyang apapun yang diciptakan oleh manusia. Umat Hindu dituduh sebagai pemuja berhala. Celakanya, pemujaan terhadap berhala inilah yang sering dijadikan sebagai alasan untuk “menyelamatkan” orang-orang Hindu.

Sebagai generasi muda Hindu, kita tentu kenyang dengan pengalaman menghadapi pertanyaan yang sering membuat kita jadi merasa nggak percaya diri untuk mengaku beragama Hindu. Tidaklah mengherankan jika sebagian dari saudara Hindu kita pada akhirnya tertarik untuk “diselamatkan”. Kita tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja. Sepintas lalu, kita memang bisa goyah dengan argumen-argumen valid yang memojokkan cara pemujaan yang kita lakukan. Masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah berarti kita membatasi Tuhan kalau Tuhan kita puja dalam wujud tertentu? Apakah bukan pelecehan besar kalau kita mempersamakan Tuhan dengan benda-benda ciptaan-Nya? Apakah Tuhan orang Hindu terus-terusan lapar, hingga tiap hari harus disuguhi dan persembahkan aneka makanan? Apalagi kalau mereka melihat banten-banten di Bali yang diisi Cola Cola atau Sprite dan buahbuahan serba impor, mereka akan berkomentar, “Wah, tinggi juga selera Tuhan orang Hindu, ya?” Sewajarnya mereka akan menantang kita dengan mempertanyakan konsep ketuhanan kita, yang kelihatannya jauh berbeda dengan konsep yang mereka miliki : tidakkah Tuhan Maha Kaya? Bukankah Tuhan tidak berwujud? Suatu kesempatan, saat ditanya mengenai cara sembahyang orang Hindu yang pakai patung itu, saya pernah menjelaskan bahwa menurut Weda, Tuhan ada di mana-mana. Karena itu, Beliau juga ada dalam setiap “patung” yang kita puja. Mendengar jawaban itu, lawan bicara saya yang kebetulan seorang Kristiani, dan kandidat doktor pada salah satu universitas terkemuka di Yogya ini, mengejar saya dengan pertanyaan memojokkan. “Lho, kalau Tuhan ada di mana-mana, seperti Anda bilang, bukankah Tuhan juga ada di lantai yang kita injak ini? Mengapa lantai ini boleh seenaknya kita injak, tapi patung-patung itu kita sembah? Apa bedanya? Apakah itu bukan diskriminasi?” sanggahnya penuh nada kemenangan.

Saya sempat terdiam juga mendengar itu. Pertanyaannya masuk akal, wajar sekali. Boleh juga logika dan nalarnya. Lalu, bagaimana menjawab pertanyaannya yang memojokkan itu? Adakah jawaban yang lebih tepat untuk menjelaskan mengapa kita menghormati bentuk-bentuk tertentu, sedangkan bentuk lainnya tidak? Adakah penjelasan menurut uraian kitab suci Weda untuk menjawab kritikan itu?

Sumber: Newsletter Narayana Smrti Ashram Yogyakarta

______________________________________________

http://ithum.files.wordpress.com/2008/01/bendera-ri.jpg

Apakah Tuhan orang Hindu (kalau memang benar Tuhan itu lebih dari satu) juga menjadi cemburu kalau umat Hindu sembahyang kepada arca? Apakah umat Buddha yang bersembahyang kepada patung Buddha juga memiliki Tuhan yang suka cemburu? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, dapat kita awali dengan terlebih dahulu menjelaskan arti kata “arca”. Bukankah kata “arca” asalnya dari bahasa Sanskerta yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia?Dalam perkembangannya, kata ‘arca’ kemudian identik dengan kata patung atau berhala, dan sering dimaknai secara negatif. Sembahyang umat Hindu kepada Tuhan dengan penggunaan sarana arca, dicap sebagai kegiatan pemujaan terhadap berhala, dan penghinaan kepada Tuhan. Padahal, dalam kitab-kitab Weda, cara

sembahyang kepada Tuhan melalui perantaraan arcavigraha adalah sebuah anjuran bagi mereka yang ingin maju dalam jalan mendekatkan diri kepada Tuhan. Benarkah? Mari kita kaji bersama uraian beberapa kitab Weda berikut. Sumber referensi utama dalam pembahasan ini adalah kitab Srimad Bhagavatam atau kitab Bhagavata Purana, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris oleh His Divine Grace A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada.

Pada umumnya masyarakat telah mengenal dan mempelajari Bhagavad-gita yang berisi ajaran rohani Sri Krishna kepada Arjuna, sebelum mulainya perang Bharatayuda. Namun, tidak banyak umat Hindu yang mengenal dan mempelajari kitab Uddhavagita, yaitu ajaran rohani Sri Krishna kepada sekretaris pribadinya, Uddhava, pada saat Sri Krishna hmengakhiri kegiatan rohani-Nya di bumi ini. Bhagavad-gita sering dipelajari sebagai kitab tersendiri, meskipun sebenarnya ia merupakan bagian dari kitab Mahabharata, yaitu Bab 25 sampai dengan Bab 42 Bhisma Parva (Bhagavad-gita terdiri dari 18 bab). Begitu pula, kitab Uddhava-gita merupakan bagian dari kitab Bhagavata Purana atau dikenal pula sebagai Srimad Bhagavatam, khususnya Sloka 11.14.1 sampai dengan 11.29.49. Para sarjana Weda, khususnya para Waishnawa menjuluki kitab Bhagavata Purana sebagai ensiklopedi ilmu tentang Tuhan. Dalam kitab inilah, diuraikan secara panjang lebar, bahwa dalam Weda, Tuhan diinsyafi atau disadari dalam tiga aspek, yaitu sebagai Brahman, Paramatman, dan Bhagavan.

Uddhava bersujud di kaki Sri Krshna sambil meneteskan air mata. Pada saat inilah Uddhava menerima pelajaran tatacara sembahyang kepada arca-vigraha Tuhan.

vadanti tat tattva-vidas

tattvaà yaj jïänam advayam

brahmeti paramätmeti

bhagavän iti çabdyate

“Learned transcendentalists who know the Absolute Truth call this nondual substance Brahman, Paramätmä or Bhagavän” (Bhagavata Purana 1.2.11)

Terjemahan : “Para rohaniwan terpelajar yang mengenal Kebenaran Mutlak, menjuluki zat yang tidak nisbi tersebut Brahman, Paramatma, atau Bhagavan”.

Selanjutnya, dalam sloka 1.3.28, dinyatakan bahwa kåñëas tu bhagavän svayam, artinya Sri Krishna adalah Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavan). Dari kata Bhagavan ini, lahirlah nama Bhagavad-gita (Song of God, atau Nyanyian Tuhan), serta nama kitab “Bhagavata Purana”, yang berarti “sejarah kegiatan rohani dan pengetahuan tentang Kepribadian Tuhan Yang Mahaesa”. Itulah sebabnya, kalau kita cermati, mengapa dalam sloka-sloka bhagavad-gita, setiap Kali Sri Krishna bersabda, ayat Sanskertanya berbunyi : “sri bhagavan uvaca”. Begitupun dalam kitab Bhagavata Purana dan lain-lainnya. Baiklah, setelah kita ketahui secara ringkas tentang Uddhava-gita, marilah kita bahas kembali ayat-ayat yang mengajarkan pemujaan kepada arca-vigraha, sebagaimana yang diajarkan oleh Sri Krishna kepada Uddhava. Uddhava bertanya kepada Sri Krishna sebagai berikut :

çré-uddhava uväca

kriyä-yogaà samäcakñva

bhavad-ärädhanaà prabho

yasmät tväà ye yathärcanti

sätvatäù sätvatarñabha

Sri Uddhava bertanya: Wahai Sri Krishna, tuan bagi para penyembah, mohon menjelaskan cara yang telah ditetapkan dalam menyembah Anda dalam wujud Anda sebagai arca. Bagaimana kualifikasi para bhakta yang memuja arca, atas dasar apa pemujaan seperti itu dilakukan, dan bagaimanakah cara pemujaannya secara

rinci? (Bhagavatam11.27.1)

etad vadanti munayo

muhur niùçreyasaà nåëäm

närado bhagavän vyäsa

äcäryo ‘ìgirasaù sutaù

“Resi-resi yang mulia menyatakan bahwa pemujaan arca seperti itu memberikan manfaat terbesar bagi kehidupan manusia. Itulah pendapat NaradaMuni, rsi agung Vyasadeva, dan pendapat guru saya sendiri, Båhaspati (aìgirasaù sutaù) (Bhagavatam 11.27.2) Muni, rsi agung Vyasadeva, dan pendapat guru saya sendiri, Båhaspati (aìgirasaù sutaù) (Bhagavatam 11.27.2)

niùsåtaà te mukhämbhojäd

yad äha bhagavän ajaù

putrebhyo bhågu-mukhyebhyo

devyai ca bhagavän bhavaù

etad vai sarva-varëänäm

äçramäëäà ca sammatam

çreyasäm uttamaà manye

stré-çüdräëäà ca mäna-da

“Wahai Sri Krishna yang paling murah hati, ajaran mengenai proses pemujaan Arca tersebut, pertama kali terpancar dari bibir padma Anda sendiri. Selanjutnya, pengetahuan tersebut diajarkan oleh Brahma kepada putraputranya yang dipimpin oleh Resi Bhrgu, Dewa Siwa mengajarkannya kepada Parvati (devyai ca bhagavän bhavaù). Proses seperti itu diterima dan cocok bagi semua

golongan masyarakat dan tingkatan hidup manapun (sarva-varëänäm äçramäëäà). Karena itulah, saya menganggap bahwa proses pemujaan arca ini bermanfaat bagi semua praktek spiritual, bahkan bagi para wanita dan sudra”. (Bhagavatam 11.27.5-6)

Sri Krishna menjawab pertanyaan Uddhava dengan menyatakan sebagai berikut :

vaidikas täntriko miçra

iti me tri-vidho makhaù

trayäëäm épsitenaiva

vidhinä mäà samarcaret

“Hendaknya seseorang memuja-Ku dengan penuh kehati-hatian dengan memilih salah satu cara pemujaan yang telah ditetapkan untuk memuja-Ku, yaitu : Vaidika, tantra, atau gabungan keduanya.

arcäyäà sthaëòile ‘gnau vä

sürye väpsu hådi dvijaù

dravyeëa bhakti-yukto ‘rcet

sva-guruà mäm amäyayä “Seorang dvija (orang yang sudah dilahirkan dua kali, atau orang yang sudah punya guru spiritual) harus menyembah-Ku, sepenuh hati (tanpa sikap mendua), mempersembahkanberbagai perlengkapan

dengan cinta Bhakti kepada wujud-Ku sebagai arca, atau kepada wujud-Ku yang muncul dalam tanah, dalam api, dalam matahari, dalam air, atau dalam hati penyembah itu sendiri”.(Bhagavatam 11.27.9)

sandhyopästyädi-karmäëi

vedenäcoditäni me

püjäà taiù kalpayet samyaksaìkalpaù

karma-pävaném

“Dengan memusatkan pikirannya kepada-Ku, seseorang hendaknya memuja-Ku dengan melakukan tugas kewajiban yang telah ditetapkan baginya. Misalnya dengan mengucapkan gayatri mantra tiga kali sehari (pagi, siang, dan senja hari). Kegiatan seperti itu diperintahkan dalam Weda, dan akan menyucikan hati orang yang melakukannya dari keinginan untuk mendapatkan hasil dari perbuatannya.” Mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat arca Krsihna menyebutkan sebagai berikut :

çailé däru-mayé lauhé

lepyä lekhyä ca saikaté

mano-mayé maëi-mayé

pratimäñöa-vidhä småtä

Dinyatakan bahwa Arca Tuhan dapat muncul dalam delapan jenis bahan: dari batu, kayu, , logam, tanah, cat, pasir,

pikiran, dan permata. (Bhagavatam 11.27.12). Jelaslah dalam hal ini, bahwa pada saat umat Hindu membuat arca Tuhan dari batu atau logam, tidak berarti bahwa mereka sedang menghina Tuhan karena mempersamakan Tuhan dengan batu. Toh, batu dan bahan-bahan lainnya, semuanya adalah ciptaan Tuhan. Dan Tuhan sendiri yang mengijinkan Diri Beliau dipuja dalam bentuk yang dapat dilihat oleh mata manusia yang terbatas ini.

Mengapa Kita Perlu Perantara Arca?

Apa sesungguhnya tujuan kita bersembahyang dan memuja Tuhan? Kalau kita mau jujur, kebanyakan orang sembahyang hanya karena ingin menjadikan Tuhan sekedar sebagai “order supplier” atau “tempat pesan & penyedia”

barang-barang kebutuhan kita. Kita sembahyang dan mendekatkan diri kepada Tuhan karena butuh sesuatu, dan

karenanya dengan enteng kita main perintah kepada Tuhan :”Tuhan, berikan kami rejeki pada hari ini….beri kami perlindungan, jauhkan kami dari segala bahaya, jangan beri kami cobaan, dst….dst…..”

Atau, orang bersembahyang kepada Tuhan hanya karena ingin mendapat pahala, takut pada ancaman dijebloskan ke dalam api neraka kalau tidak melakukannya. Yang paling banyak, orang ingat pada Tuhan hanya saat dia dalam duka dan kesedihan. Padahal, tujuan tertinggi pemujaan kepada Tuhan menurut Weda adalah agar kita pada akhirnya dapat mencapai pembebasan atau moksa.

Yaitu terlepasnya atman dari perputaran kelahiran dan kematian yang dialami berulang kali ke dunia material ini, atau terbebas dari samsara. Pembebasan itu hanya dapat dicapai, bila seseorang telah berhasil kembali pulang ke dunia rohani, atau memasuki kerajaan Tuhan. Mengenai sifat alam rohani tersebut, diuraikan dalam Bhagavad-gita sebagai berikut:

“Dari planet tertinggi di dunia material sampai dengan planet yang lebih rendah, semuanya tempat-tempat kesengsaraan, tempat kelahiran dan kematian dialami berulangkali. Tetapi orang yang mencapai tempat tinggal-Ku tidak akan pernah dilahirkan lagi, wahai Arjuna “(8.16)

“Tempat tinggal-Ku yang paling utama itu tidak diterangi oleh matahari, bulan, api, maupun listrik. Orang yang mencapai tempat tinggal itu tidak pernah kembali lagi ke dunia material ini” (15.6)

“Sesudah mencapai kepada-Ku, roh-roh yang mulia, yogi-yogi dalam bhakti, tidak pernah kembali lagi kedunia fana yang penuh kesengsaraan, sebab mereka sudah mencapai kesempurnaan tertinggi” (8.15)

Disebutkan pula, bahwa syarat untuk dapat mencapai kepada Tuhan adalah, kita harus mencintai Tuhan. Tapi ingat, pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang” ataupun “To Know is To Love” juga berlaku dalam hubungan kita dengan Tuhan. Bagaimana kita bisa jatuh cinta kepada Tuhan, kalau kita tidak pernah kenal Beliau? Bukankah “cinta” adalah “take and give” – member dan menerima? Lalu pertanyaannya, bagaimana kita bisa mencintai Tuhan, kalau ternyata Tuhan tidak berwujud, tidak memiliki sifat, tidak terkatakan, tidak terdeskripsikan dan tidak…tidak….tidak….lainnya? Inilah persoalannya. Bagaimana kita bisa “memberi” sesuatu kepada Tuhan, kalau mata kita tidak bisa melihat-Nya? Kita sering mendengar ada orang yang langsung “fall in love on the first sight”, jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu karena ada obyek yang dapat dilihat dan dapat dipandang. Dari mata turun ke hati…..

Bagaimana proses “dari mata turun ke hati” ini bisa kita terapkan pada Tuhan? Mustahil, karena berbagai alas an. Pertama, keterbatasan panca indera kita. Tuhan mungkin sudah hadir di depan mata kita, tapi mata kita memang tidak mampu melihatnya. Telinga kita tak mampu mendengar bisikan lembut Tuhan, yang mungkin sudah sangat dekat ke telinga kita. Mengapa? Karena frekuensinya berbeda, panjang gelombangnya berbeda! Maksudnya? Ingat, dalam ilmu fisika dikenal istilah cahaya tampak dan cahaya tak tampak. Mata hanya bisa melihat cahaya dengan panjang gelombang antara 4000 Amstrong sampai 7000 Amstrong. Telinga kita hanya bisa mendengar suara yang

panjang gelombangnya antara 20 Hz sampai dengan 20 kHz. Kalau mau jujur, kemampuan telinga kita kalah dengan

telinga kelelawar dan telinga anjing. Di mata kita, matahari hanya sebesar bulatan bola kaki, padahal ukuran matahari sebenarnya 14 kali ukuran bumi. Bintangbintang seolah hanya muncul pada malam hari, menghilang pada siang hari. Padahal kenyataannya bintang-bintang tidak pernah menghilang. Di udara sekitar kita sebenarnya berseliweran film, siaran televisi, siaran radio, orang lagi asyik mojok pakai telpon, dan lain-lain. Tapi, toh mata dan

telinga kita tidak mampu melihat dan mendengarnya. Setelah kita memanfaatkan televisi, menyetel radio atau menggunakan alat bantu lainnya, Itulah sebabnya, selama ini secara umum manusia menyimpulkan bahwa Tuhan tidak berwujud, tidak terpikirkan, tidak terbayangkan, dan diluar segala sifat yang dapat diterapkan pada diri manusia. Tuhan disebut Acintya, tak terpikirkan.

Lalu, bagaimana solusinya? Padahal, kalau mau jujur, kita tidak pernah bisa bersembahyang pada kekosongan. Saat

berdoa, sembahyang, ataupun melakukan pemujaan, pastilah pikiran kita membayangkan suatu figur, sosok, bentuk,

wujud, konsep, atau gambaran tertentu, yang kita jadikan sebagai obyek untuk pemusatan pikiran. Bukankah demikian? Entah itu berupa “cahaya menyilaukan”, “orang tua yang agung dan bijak”, “omkara”, “gambar Jesus”, “Kaligrafi Allah” tanda salib, dan sebagainya dan seterusnya. Selalu ada sesuatu yang kita wujudkan – baik secara sadar ataupun tidak sadar – dalam pikiran kita, sebuah obyek yang dapat kita jadikan sebagai tempat mencurahkan

kesedihan, duka cita, ataupun permohonan – permohonan kita. Bukankah umat Islam juga diwajibkan untuk menghadap ke arah “kiblah” yaitu berupa Ka’bah yang berada di kota Mekah, Arab Saudi? Arah menghadapnya bisa ke barat, timur, utara, selatan, tenggara, dan sebagainya, tergantung pada arah mana kota Mekah kalau dilihat

dari negara di mana umat Islam berada. Bukankah, Islam yang mengajarkan agar orang tidak menggambarkan wujud Allah pun, masih menganjurkan agar umatnya sembahyang dengan menghadap ke arah Ka’bah sebagai pusat konsentrasi? Bukankah Ka’bah juga terbuat dari batu? Demikianlah, pada dasarnya, orang tidak bisa sembahyang pada kekosongan. Kalau kita pelajari secara mendalam dan menyeluruh ayat-ayat Weda, maka akan kita temukan uraian-uraian bahwa Tuhan memiliki wujud rohani, Tuhan memiliki badan rohani. Kebenaran Tertinggi menurut Weda adalah dalam bentuk Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavan). Sebagaimana sebuah negara memiliki pemerintahan, maka akan ada seseorang yang bersifat individu yang menjadi kepala pemerintahan.

Salah satu keunikan dan kelengkapan kitab Weda adalah, ia menguraikan secara sangat lengkap sifatsifat, wujud dan kegiatan Tuhan, yang tidak dapat ditemukan dalam kitab suci lainnya. Mungkin ada yang bertanya, tidakkah wujud Tuhan itu hanyalah hasil penggambaran dan imajinasi manusia semata? Jawabannya tidak. Menurut Weda, Tuhan tahu pasti bahwa manusia tidak akan pernah mampu memikirkan atau membayangkan wujud-Nya. Itu semua berada di luar batas kemampuan manusia. Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Bukankah manusia tidak akan bisa mencintai Tuhan, kalau manusia tidak memiliki gambaran apapun tentang Tuhan?

Contoh tipuan pandangan mata. Cobalah terka : Gambar seorang gadis muda berbulu mata lentik, ataukah seorang nenek berhidung besar?

Tentu saja, semua itu bisa teratasi, bila Tuhan yang berinisiatif, Tuhan yang harus “mengalah”, dengan menampakkan diri kepada manusia. Tuhan memiliki hak prerogatif untuk melakukan itu kepada yang dikehendaki-Nya. Pihak Tuhan lah yang harus berinisiatif untuk memberitahu manusia tentang sifat-sifat, wujud dan kegiatan-Nya, tentu sejauh dan sebatas yang dapat dimengerti dan dipahami oleh otak manusia yang serba terbatas ini. Itulah yang terjadi dalam kitab Weda, yang tidak dapat dijumpai dalam kitabkitab lainnya di dunia. Kalau kita mau secara obyektif mempelajari dan membandingkan kelengkapan informasi atau pengetahuan tentang Tuhan, alam rohani, dan kegiatan-kegiatan Tuhan yang tersajikan dalam berbagai kitab suci di dunia, maka kitab Weda lah yangmenyediakan informasi paling lengkap mengenai hal itu. Jangan mengatakan tidak sebelum Anda membuktikannya.

Sekali lagi, indera manusia hanya bisa menangkap dan memahami hal-hal yang bersifat material, sedangkan Tuhan bersifat rohani atau spiritual. Oleh karena itu, Tuhan berkenan hadir dalam wujud arca atau murti yang terbuat dari bahan-bahan material, yang dapat dilihat dan diraba oleh indera manusia. Arca atau murti boleh dibuat dari bahan kayu, batu, logam, tanah liat, cat, dan sebagainya.

Satu lagi contoh tipuan optis, bukti keterbatasan kemampuan indria mata kita! Cobalah terka : Gambar sebuah gelas atau gambar dua wajah?

Tuhan Maha Hebat, Beliau mampu mengubah sesuatu yang bersifat material menjadi bersifat spiritual, begitu pula sebaliknya, sesuai dengankehendak-Nya. Apa sulitnya bagi Tuhan untuk “masuk” ke dalam arca atau murti itu, untuk menerima bhakti dan persembahan dari pemuja-Nya yang berbhakti dengan hati dan keinginan yang tulus? Bukankah batu, kayu, logam, atau bahan-bahan lainnya, toh semuanya adalah ciptaan Tuhan Sendiri? Apakah kita akan disebut menghina dan menyekutukan Tuhan, kalau kita manfaatkan benda-benda ciptaan Tuhan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sering kita mendengar pernyataan bahwa Tuhan berada di mana-mana. Kalau kemudian saya bertanya : “ Tuhan ada di mana-mana. Apakah itu berarti Tuhan juga ada di dalam arca? Mampukah Tuhan masuk, berada dan bersemayam dalam arca yang dipuja oleh umat Hindu itu?” Mendengar itu, banyak orang yang serta merta menjawab: “Ah…tidak mungkin dong…Tuhan tidak mungkin ada di arca. Arca’kan buatan manusia?Tidak mungkin Tuhan ada dalam benda-benda ciptaan manusia!”

Lalu, kita bisa mengejar jawaban itu dengan menyimpulkan begini: “Oh, jadi Tuhan kalah dengan manusia? Manusia lebih hebat dari Tuhan, karena mampu menciptakan sesuatu yang membuat Tuhan tidak mampu memasukinya? Tuhan yang tadinya ada dimana-mana, Maha Ada, menjadi tidak berdaya menghadapi benda-benda

ciptaan manusia! Bukankah itu berarti Tuhan juga tidak mampu berada dalam masjid, gereja, pura, atau wihara,

karena semua tempat-tempat itu adalah ciptaan manusia?” Lalu, apa gunanya kita sembahyang di pura, masjid atau gereja?

Kita semua pasti sepakat, bahwa Tuhan mampu berada di dalam segala sesuatu! Asal, Beliau Mau! Kalau tidak, apa hebatnya Tuhan? Karena itulah, salah satu nama Tuhan dalam bahasa Sanskerta adalah “Wishnu”, yang artinya “Dia yang merasuk dan bersemayam dalam segala sesuatu. Bukankah ternyata justru manusia yang membatasi Tuhan?  Tuhan tidak mungkin begini, Tuhan tidak boleh begitu. Tuhan bukan ini dan  bukan itu! Karena itu, kalau kita menyembah Tuhan dalam wujud arca atau pratima, kita dianggap membatasi Tuhan. Masak sih Tuhan seperti batu?

Pertanyaannya, benarkah Tuhan memang akan terbatasi oleh batasan-batasan manusia? Mampukah batasan-batasan kita itu benar-benar membatasi Tuhan yang Tanpa Batas itu?

Alasan itulah yang melandasi konsep pemujaan arca atau murti yang dijelaskan dalam kitab-kitab Weda. Tuhan sadar betul akan kemampuan manusia, sehingga Beliau memberikan fasilitas kepada kita untuk melakukan pemujaan kepada-Nya, melalui wujud-Nya yang dapat kita lihat, kita raba, dan kita layani dengan indera-indera kita.

Oleh karena itulah Sri Krishna memberikan penjelasan tata cara pembuatan dan pemujaan arca vigraha secara lengkap kepada Uddhava. Jadi, dalam hal ini, Tuhan Sendirilah yang memberikan petunjuk dan mengijinkan pemujaan arca yang dilakukan oleh umat Hindu. Sudah barang tentu, “Tuhan umat Hindu” tidak pernah cemburu, kalau ada umat-Nya yang menyembah perwujudan atau simbol tertentu sebagai perantara. Satu hal yang harus diingat, orang tidak boleh membentuk arca sesuka hatinya, lalu menjadikan itu sebagai Tuhan pujaannya. Arca harus dibuat menurut aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab Weda. Ada mantra-mantra khusus yang ditetapkan untuk “mengundang” Tuhan agar berkenan bersemayam dalam arca yang kita buat dan menerima pemujaan kita. Kalau kita ingin agar surat kita sampai kepada tujuan, maka kita harus memasukkan surat kita ke dalam kotak surat yang resmi, yang dibuat oleh pihak pemerintah atau swasta yang berwenang untuk hal itu. Kita tidak bisa membuat kotak surat sendiri, memasukkan surat kita ke dalamnya, lalu berharap surat itu akan sampai tujuannya. Begitu pula dengan arca, kita tidak boleh membuatnya menurut selera kita sendiri. Misalnya, seorang pemuja Siwa yang memuja linggam Siwa. Bentuk linggam yang ada seperti sekarang, bukanlah hasil imajinasi liar manusia semata. Juga, penggambaran Siwa yang berkalung ular kobra, atau Ganesha yang berbadan manusia erkepala gajah. Brahma digambarkan berkepala empat, Wishnu berlengan empat, atau Krishna yang memegang seruling, adalah berdasarkan pada informasi yang ada dalam Weda.

Lho, kok Pilih Kasih???

Penjelasan konsep pemujaan arca seperti yang telah disajikan di atas, seringkali masih menyisakan pertanyaan lain yang tidak kalah memojokkan. Kalau benar Tuhan ada di mana-mana, termasuk di dalam arca ditempat sembahyang,

Bukankah berarti Tuhan juga ada di lantai yang kita injak-injak setiap hari? Kenapa kita pilih kasih, hanya hormat kepada Tuhan yang di dalam arca, sementara dengan seenaknya “menghina Tuhan” di dalam lantai? Juga, kenapa orang marah kalau ada arca atau murti yang dirusak atau dihancurkan? Tidakkah itu namanya diskriminatif? Jawabnya, akan sama dengan jawaban terhadap pertanyaan : Kenapa orang menghormat kepada bendera negaranya, padahal bendera itu tidak lebih dari secarik kain? Kenapa orang mau mengangkat tangan dengan sikap hormat pada saat upacara penaikan bendera merah putih? Mengapa orang Indonesia marah besar kalau misalnya ada orang Australia yang demo dan membakar kain merah putih, bendera Indonesia? Mengapa kita tidak marah, kalau ada orang menginjak-injak kain warna merah dan kain warna putih yang tidak dijahit sebagai bendera? Tidakkah itu berarti juga diskriminatif, pilih kasih???

Jadi, yang dihormati bukanlah secarik kain merah putih itu semata, melainkan sesuatu yang disimbolkannya. Bendera merah putih adalah simbol sebuah negara, sebuah bangsa, sebuah harga diri, sebuah kehormatan, yaitu Indonesia. Kain merah yang dijahit di atas kain putih, identik dengan Indonesia. Kalau itu dibakar, orang Indonesia

akan rela mengorbankan nyawanya. Padahal, kalau ada orang menginjak atau membakar seragam anak-anak sekolah dasar, yang jelas-jelas juga merah putih, apakah orang juga akan tersinggung dan marah besar? Seperti halnya bendera tadi, begitu pula masalahnya dengan Tuhan yang “berada” dalam arca, dengan Tuhan yang berada dalam lantai. Orang marah kalau arca dirusak, karena yang dirusak adalah simbol kehadiran Tuhan yang dipujanya. Kesimpulannya, umat Hindu bukanlah pemuja berhala. Umat Hindu tidak menyekutukan Tuhan, ketika mereka bersembahyang kepada Tuhan dengan perantaraan arca vigraha. Justru umat Hindu sangat jujur, mengakui ketidakmampuan panca inderanya yang bersifat material untuk melihat dan merasakan kehadiran Tuhan yang bersifat spiritual. Manusia hanya mampu melihat dan mengapresiasi hal-hal material yang kasat mata. Diakui atau tidak, toh setiap orang butuh bayangan atau gambaran sebuah obyek yang dalam pikirannya dianggap sebagai Tuhan.

Tuhan adalah pemilik segala sesuatu, sumber segala sesuatu, baik yang bersifat material maupun spiritual. Karena manusia hanya bisa melihat yang material, karena rasa kasih-Nya, Tuhan berkenan hadir dalam bentuk-bentuk yang terbuat dari bahanbahan material guna menerima pelayanan bhakti dari para penyembah-Nya. Ada sebuah kenyataan menarik dalam cara sembahyang kepada arca ini. Dulu, saat Inggeris masih menjajah India, para misionaris dan pendeta Kristen mengejek dan mengolok-olok habis-habisan arca Jagannath (Krishna), Baladeva dan Subhadra, yang sedang diarak diatas kereta dijalan-jalan besar oleh ribuan orang Hindu di kota Jagannath Puri. Mereka menulis artikel-artikel di surat kabar dan media lain yang terbit saat itu, menyebut arca-arca tersebut sebagai bukti meprimitifan penduduk India yang masih memuja batu-batu yang dipoles.

Sekarang kejayaan Inggeris sebagai negara penjajah telah berakhir, Inggeris tidak lagi memiliki taring. Sebaliknya, gentian arca-arca India yang sekarang “menjajah” penduduk Inggeris dan negara-negara lainnya. Sejak tahun 1971, acara Ratha Yatra yang dulu ditertawakan oleh para misionaris itu, kini justru menjadi acara yang dinanti-nantikan oleh orang-orang Barat yang telah beralih menganut agama Hindu. Kuil-kuil Hindu lengkap dengan arca Krishna, Caitanya, Wishnu, Siwa, Ganesh dan lain-lainnya kini dapat kita jumpai hampir diseluruh kota besar di dunia. Orang-orang Barat yang mengutamakan rasionalitas dan materialis, kini berangsurangsur mengerti, bahwa cara sembahyang kepada arca vigraha Tuhan bukanlah idolatry atau pemujaan berhala. Mereka sadar, bahwa orang Islam pun masih wajib sembahyang menghadap Ka’bah di kota Mekah. Orang Katholik masih menempatkan patung Yesus pada gereja-gereja mereka. Toh, orang yang tidak pakai arca yang terbuat dari bahan-bahan kasar, juga masih memuja “arca” yang terbuat dari bahan “halus”, yang mereka gambarkan dalam pikiran mereka masing-masing. Bukankah demikian? Jadi, umat Hindu pemuja arca, bukan penyembah berhala.

Banggalah menjadi Hindu!

PENGHORMATAN PADA ORANG TUA

PENGHORMATAN PADA ORANG TUA

Tidak ada sesuatu yang kekal di dunia ini, demikian para sesepuh mengingatkan kita, segala sesuatu pasti mengalami perubahan. Kecuali Hyang Widhi. Seiring dengan berjalannya sang kala, Pembangunan terus meningkat di berbagai bidang kehidupan. Namun bila kita perhatikan dengan seksama. Ternyata selain kemajuan-kemajuan yang kita dapatkan. Perlahan namun pasti, nilai-nilai luhur budaya dan agama kian hari kian menitipis. Terkikis oleh budaya baru yang disebut modernisasi.

Tidak jarang kita lihat masyarakat menganggap beberapa budaya yang luhur warisan para pendahulu dianggap kuno dan mulai ditinggalkan. Misalnya saja penghormatan kepada orang tua atau guru pengajar. Saat ini sulit sekali menemukan anak murid mengucapkan salam hormat (Om Swastyastu) kepada guru maupun kepada orang tuanya. Kalaupun ada pasti dapat dihitung dengan jari.

Kalo kita lihat kembali kitab suci kita, ternyata banyak sekali sloka-sloka yang mengajari kita untuk selalu memberikan penghormatan kepada orang tua.

Pustaka suci Manawa Dharma Sastra menyuratkan mengenai pahala dari penghormatan kepada orang tua. Pada adyaya II sloka 121 disebutkan sebagai berikut;

“abhi wadanacilasya, nityam wrddhopasewinah, catwari tasya madhante, ayurwidya yaco balam”.

Yang artinya; ia yang sudah biasa menghormati dan selalu taat kepada orang tua mendapatkan tambahan dalam empat hal yaitu umur panjang, pengetahuan, kemasyuran, dan kekuatan.

Bait sloka ini sangat jelas memberi gambaran akan pahala bagi mereka yang taat serta patuh kepada orang tua. Bagi siapapun yang taat dan patuh kepada orang tuanya akan diberikan tambahan berupa umur panjang, pengetahuan, kemasyuran, dan kekuatan. Namun jangan pula sekali-kali melakukan ketaatan dan kepatuhan kepada orang tua karena keinginan untuk memperoleh pahala, sebab penghormatan yang diberikan maupun ketaatan adalah sesuatu yang mutlak dilakukan pada orang tua, karena jasa mereka yang tidak ternilai atas kehidupan kita di dunia ini.

Hal ini dengan tegas dituliskan pula oleh pustaka suci Manawa Dharma Sastra, yaitu adyaya II, sloka 227, adapun bunyinya ialah sebagai berikut;

“yam matapitarrau klecam, sahete sambhawernam, na tasya niskrtih cakya, kartum warsacatairapi”.

Yang artinya; kesulitan dan kesakitan yang dialami oleh orang tua pada waktu melahirkan anaknya tidak dapat dibayar walaupun dalam seratus tahun.

Sebuah wejangan dari Prabu Sri Aji Jayabaya putra Airlangga cucu dari Prabu Udayana, juga memberi kita pedoman bahwasanya, penghormatan kepada orang tua sangat penting karena penghormatan kepada orang tua juga sama dengan penghormatan kepada Tuhan.

Wejangannya sebagai berikut;

“sing sapa lali marang wong tuwane prasast lali marang Hyang Widhi. Ngabektia marang wong tuwa”.

Artinya; barang siapa lupa akan orang tua tak ubahnya lupa dengan Gusti Sang Hyang Widhi. Hormatilah orang tua.

Pada pustaka suci Sarasamuccaya juga dapat ditemukan mengenai penghormatan seorang anak kepada orang tuanya. Salah satu sloka yang menguraikannya ialah pada sloka 239;

“tapaçcaucavata nityam, dharmasatyaratena ca, matapitro raharah, pujanam karyamañjasa”.

Yang artinya orang yang senantiasa hormat kepada ibu bapanya disebut tetap teguh melakukan tapa dan menyucikan diri, tetap teguh berpegang kepada kebenaran atau dharma.

Betapa berdosanya apabila tidak dapat berprilaku hormat kepada orang tua, karena demikian banyak hal yang telah mereka lakukan hingga kita dapat mengecap kehidupan di dunia. Mereka dengan tidak jemu-jemunya mengusahakan hal yang terbaik bagi putra-putrinya. Sudah sewajarnya kita selalu hormat dan taat kepada beliau.

Mantra-Mantra Gaib Sri Ganesha Untuk Berbagai Kegunaan

 

Ganesha merupakan salah satu dewa istimewa dalam agama hindu, karena Ganesha menjadi “Pemuka” sebelum memberi hormat kepada Brahma, Wisnu, dan Shiwa.Selain itu Ganesha juga dipercaya  sebagai dewa penghancur segala rintangan dan dewa ilmu pengetahuan.

Berikut adalah beberapa syarat dalam melakukan japa mantra Ganesha :

1.Mandi yang bersih terlebih dahulu, termasuk membersihkan paha dan kaki
2.Membaca mantra dengan sepenuh hati, minimum 108 kali (pergunakan tasbeh). Pengucapannya boleh dalam hati atau dengan mengeluarkan suara.
3.Jika ingin yang paling serius, pembacaan/pengucapan mantra dilakukan selama 48 hari berturut-turut secara kontinu. Usahakan di tempat dan waktu yang sama.
4.Tujuan yang terbaik dengan mantra adalah untuk menolong manusia lain/pribadi sendiri.
5.Jangan bertujuan buruk kepada manusia lain, akan kena diri sendiri.

Inilah beberapa Mantra  Ganesha yang dapat di gunakan untuk melakukan japa ;

1.Om Gam Ganapatayae Namaha
Mantra ini dipergunakan untuk memulai sesuatu yang baru, seperti memulai perjalanan, mengadakan usaha baru, buka kantor baru, penandatanganan kontrak-dagang baru, sehingga pelaksanaan usaha tidak menemui hambatan-hambatan.

2. Om Namo Bhagabatae Gajaanaaya Namaha
Mantra ini untuk meminta kehadiran Ganesha, dan akan dapat dirasakan kehadirannya.

3. Om Shri Ganeshaaya Namaha
Mantra ini untuk meningkatkan daya-ingat (terutama pelajar dan mahasiswa) untuk mencapai tingkat lebih tinggi dalam belajar.

4. Om Vakratundaaya Hum
Mantra ini sangat kuat untuk menghambat dan menghilangkan pikiran-pikiran buruk, baik untuk pribadi maupun untuk manusia di tingkat nasional maupun internasional bahkan tingkat universal. Sering dipergunakan untuk mengusir setan. Dapat juga untuk penyembuhan penyakit yang berkaitan tulang belakang (dari bawah ke atas) dan penyakit dipaha. Untuk itu harus diucapkan 1008 kali (bukan 108 kali !).

5. Om Kshipra Prasadaya Namaha
Mantra ini bersifat “instant” (cepat sekali). Mantra ini diucapkan, ketika ada bahaya atau kesulitan yang sudah tidak bisa diatasi sendiri.

6. Om Shreem Kleem Glaum Gam Ganapatayae Vara Varada Sarva Janamah Vashanamanaaya Svaha
Mantra ini mengandung bermacam-macam benih mantra. Tujuannya adalah untuk mohon berkat dan untuk penyerahan diri.

7. Om Sumukhaaya Namaha
Mantra ini sesungguhnya memiliki banyak arti, tujuannya menjadikan manusia menjadi cantik, baik (tubuh dan spritual) dan untuk hal-hal lain yang baik. Dengan sering mengucapkan mantra ini, akan menimbulkan rasa kasih-sayang.

8. Om AekadanTaaya Namaha
Mantra ini akan sangat membantu kepada mereka yang ingin “memusatkan” pikiran dan perasaan dalam bermeditasi. Jika dilakukan terus menerus, maka keinginan dapat dicapai.

9.Om Kapilaaya Namaha
Mantra ini untuk menyembuhkan manusia yang sedang sakit, karena mantra ini menciptakan warna dan tubuh anda, dan warna-warna itu dapat “disalurkan” kepada yang sakit untuk disembuhkan.  Mantra ini juga dapat dipergunakan untuk memohon agar keinginan seseorang dapat tercapai.

10. Om Gajakaranakaaya Namaha
Anda dapat mengucapkan mantra ini dimana saja. Penggunaan mantra ini adalah untuk dapat mendengarkan suara-suara dari alam gaib, baik dari berbagai jenis makhluk halus maupun dari mereka yang sudah meninggal. Mantra ini dapat membantu
“membuka” cakra (7 cakra) dan 72000 nadi (saluran-saluran kecil). Mantra ini cocok untuk mereka yang ingin maju di bidang pengembangan kebatinannya.

11. Om Lambodharaaya Namaha
Mantra ini digunakan untuk “menyatukan” diri anda dengan jagat-raya (alam semesta). Anda menjadi manunggal dengan alam-semesta dan menghasilkan rasa-damai tingkat tinggi, anda merasakan menjadi alam-semesta. Mantra ini sangat cocok dipergunakan mereka yang melakukan “olah batin”.

12. Om Vikataaya Namaha
Mantra ini membantu manusia mengetahui dan merasakan bahwa dunia material adalah maya dan ada “sesuatu” dalam diri sendiri yang lebih nyata dan abadi.
Kesadaran yang diperoleh dari mantra ini, adalah dapat menjauhkan diri dari “keterikatan duniawi” dan menemukan ketenangan batiniah. Dunia hanya sebuah drama dan setiap orang menjadi pemeran tertentu dalam setiap kehidupannya di dunia
yang fana ini.

13. Om Vighna Nashanaaya namaha
Mantra ini untuk mengatasi kesulitan pribadi dan hambatan-hambatan dalam diri sendiri. Kesulitan dan hambatan tsb. Dapat “dibebaskan” dengan mantra ini.

14. Om Vinayakaaya Namaha
Mantra ini dipergunakan untuk melancarkan segala macam pekerjaan/usaha. Anda akan dapat menguasai dan memecahkan masalah dengan baik serta membuat “masa keemasan”.

15 Om Dhumraketuvae Namaha
Mantra ini untuk membantu menciptakan perdamaian dunia, terutama jika pengaruh komet Halley sedang melanda dunia yang berarti banyak pertumpahan darah (keributan-keributan) di seluruh dunia. Mantra ini baik sekali untuk para pemimpin.

16. Om Ganadhyakshaaya Namaha
Mantra ini sangat bermanfaat untuk penyembuhan penyakit secara massal (beramai-ramai). Mantra ini menyembuhkan penyakit, jika diucapkan bersama-sama banyak orang.

17. Om Bhalachandraaya Namaha
Mantra ini menyembuhkan penyakit pada diri sendiri. Mantra ini mengaktifkan cakra yang berada di tengah-tengah kening. Cakra ini bersimbol bulan-separoh dan letaknya di tengah-tengah kening. Simbol tsb. Melukiskan pengembangan, ketenangan,
dan kedamaian.

18. Om Gajaananaaya Namaha
Mantra ini untuk memperoleh kesadaran- tertinggi, kesadaran tak terbatas. Mantra ini sangat cocok untuk mereka yang memperdalam olah-batin.
Anjuran:
Mereka yang ingin mempergunakan mantra-mantra tersebut diatas perlu memperhatikan:
1.Agar serius melakukannya
2.Agar bersabar menanti hasilnya
3.Agar berdisiplin untuk mengucapkan secara teratur dan kontinu
4.Untuk mempermudah hitungan, agar mempergunakan tasbeh yang 108.

sumber:
http://wacanadharma.blogspot.com/

dengan sedikit  perubahan.

Dalam jejaring kosmik Brahman, kita semua satu keluarga

Dalam jejaring kosmik Brahman, kita semua satu keluarga

BRAHMAIVEDAM VISVAM IDAM VARISTHAM

[Sesungguhnya keseluruhan alam semesta adalah Brahman itu sendiri].

 

 

 

ETASMAD ATMANA AKASAH SAMBHUTAH AKASAD VAYUH, VAYORAGNIH, AGNERAPAH, ADBHYAH PRHTIVI

[Bermula dari prinsip-prinsip kosmis, muncullah ruang-/akasha, dari ruang muncul udara-/vayu-, dari udara muncul api-/agni, dari api muncul air-/apah, dari air muncul tanah-/prthivi].

 

 

 

YAH PRHTHVYAM APSU, AGNAU, VAYAU,  ANTARIKSA THISTAN

[Beliau bersemayam dalam tanah, air, api, udara, dan akasha, namun mereka belum mengetahuinya, unsur-unsur ini menjadi badan-Nya].

 

 

 

BRAHMANDE API ASTI YAT KINCIT TAT PINDE ASTI SARVATHO

[Lima intisari unsur yang terkandung di alam semesta-/bhuwana agung, juga terkandung di dalam mahluk hidup-/bhuwana alit]

 

 

 

Kita sering disesatkan oleh pemikiran-pemikiran tentang identitas diri kita : aku orang Indonesia, aku orang Malaysia, aku orang Arab, aku orang China, aku orang Bali, aku orang Jawa, aku orang Sumatera, aku orang Hindu, aku orang Islam, aku orang Buddha, dll. Akibatnya munculah berbagai konflik, ketidakharmonisan dan ketidakseimbangan kosmik.

 

 

 

Batas-batas palsu seperti itu hanya bisa lahir dari avidya [kebodohan], kroda [kebencian], kama [keinginan], lobha [keserakahan], dll. Sesungguhnya yang ada di brahmanda [planet] kita ini hanya Planet Bumi beserta seluruh mahluk hidup di dalamnya.

 

 

 

Kenali asal mula kita, kita semua berasal dari sumber yang sama.

 

 

 

Bumi memberiku makanan. Yang memberiku makanan sama dengan Ibuku. Karena itu aku menghormati dan menyebutnya Ibu Pertiwi [Prthvi Matta].

 

 

 

Agar aku bisa hidup, aku memerlukan air dan udara. Langit menyediakan air tawar dan udara untukku, karena itu aku menghormati dan menyebutnya Bapa Akasha [Akasha Pitta].

 

 

 

Agar roda kehidupan bisa berputar, diperlukan sinar matahari. Tanpa matahari tidak akan ada kehidupan di Planet Bumi. Dan bapa-ibuku ini diberi kekuatan gerak oleh matahari. Karena itu aku menghormatinya [Surya Namaskara].

 

 

 

Seluruh alam semesta ini adalah satu keluarga yang manunggal. Sadarilah koneksi antar kita. Bumi ini beserta seluruh mahluk di dalamnya adalah bagian dari jejaring kosmos yang saling terhubung rapi satu sama lain laksana jaring laba-laba. Setiap bagian dari alam semesta adalah permata Brahman, setiap mahluk adalah permata Brahman, di dalam tarian kosmik Brahman [Shiva Nataraja]. Ketika kita melihat satu permata, kita melihat pantulan dari permata yang lain.

 

 

 

Kita terhubung rapi dan tidak terpisahkan satu sama lain. Ketika satu permata disentuh, vibrasi pantulannya akan mental ke permata di sekitarnya dan ini menciptakan efek gelombang tanpa akhir dan menyebar ke seluruh jejaring kosmik.

 

 

 

UDARA CARITANAM TU VASUDAIVA KUTUMBAKAM

[Mereka yang hatinya penuh dengan kasih sayang yang tak terbatas, merangkum seluruh dunia sebagai keluarganya].

 

 

 

ATMAUPAMYENA SARVATRA SAMAM PASYATI YO RJUNA, SUKHAM VA YADI DUHKHAM SA YOGI PARAMO MATAH

[Mereka yang mengidentifikasikan dirinya dengan semua yang ada di alam semesta dan mengidentifikasikan kesenangan dan penderitaannya sendiri dengan kesenangan dan penderitaan semua makhluk, dialah seorang yogi yang sempurna].

 

 

 

DYAUH SANTIR ANTARIKSAM SANTIH, PRTHVI SANTIRAPAH SANTIR OSADHA, YAH SANTIH VANASPATAYAH SANTIR, VISVE DEVAH SANTIR BRAHMA SANTIH, SARVAM SANTIH SANTIR EVA SANTIH, SA MA SANTIR EDHI

[Semoga ada kedamaian di langit & udara yang meliputi bumi, semoga ada kedamaian di bumi, semoga air dan tumbuh-tumbuhan menjadi sumber kedamaian bagi semuanya. Semoga para dewa dan Brahman menganugerahkan kedamaian kepada semua mahluk. Semoga terdapat kedamaian dimana-mana. Semoga kedamaian itu datang kepada kita semua].

 

 

 

Kutipan singkat dari Rig Veda, Ayur Veda dan Hita Upadesha.

Sekilas Tentang Banten

Sekilas Tentang Banten

 

Banten adalah tata cara yajna [persembahan] yang berasal dari jaman Veda dan berakar pada Tantra. Tata cara yajna ini dibawa dari India ke nusantara oleh Maharsi Agastya [abad ke-4 M] dan Maharsi Markandeya [abad ke-8 M], dengan disesuaikan dengan keadaan dan situasi lokal. Lalu seiring waktu banten ini terus dikembangkan oleh orang-orang suci lokal, seperti [kalau khususnya di bali] oleh Mpu Sangkulputih, Mpu Jiwaya, Danghyang Nirartha, dll.

 

FUNGSI BANTEN

 

1. Banten sebagai Yantra.

 

Yantra adalah sebuah tehnologi spiritual. Yantra mewujudkan simbol-simbol suci dari misalnya alam semesta, kesadaran, para dewa-dewi, dll. Selaras dengan isi Lontar Yadnya Parakerti, bisa disimpulkan bahwa banten adalah yantra, yaitu simbol-simbol mistik yang berfungsi sebagai kanal [saluran] penghubung dengan para dewa-dewi dan Brahman. Simbol-simbol ini dalam banten [seperti halnya yantra], diwujudkan dalam tata letak perpaduan warna, bunga-bunga, biji-bijian dan unsur-unsur lainnya dalam banten.

 

2. Banten sebagai Mantra.

 

Banten adalah mantra yang diwujudkan dalam bentuk fisik. Tujuannya agar lebih kuat, sehingga apa yang diharapkan dapat lebih mudah terwujud [tercapai tujuan]. Contoh banten [hanya dimuat beberapa saja untuk mempersingkat] sebagai perwujudan fisik mantra, misalnya :

– Sesayut Pageh Tuwuh, perwujudan mantra Rig Veda VII.66.16

Om taccaksura devahitam sukram uccarat, pasyema saradah satam, jivema saradah satam [Brahman dan para dewa-dewi, semoga sepanjang hidup hamba selalu melihat mata-Mu yang bersinar].

 

– Daksina, perwujudan Gayatri Maha Mantram [Rig Veda III.62.10]

Om bhur bhuvah svaha, tat savitur varenyam, bhargo devasya dimahi, dhiyo yo nah pracodayat [Kami bermeditasi kepada cahaya realitas mahasuci, yang merupakan dasar dari tiga macam alam semesta. Semoga pikiran kami dicerahkan].

 

– Byakala Dhurmanggala, perwujudan mantra Rig Veda V.82.5

Om visvani deva savitar, duritani para suva, yad bhadram tanna a suva [Brahman sebagai cahaya realitas mahasuci, jauhkanlah segala energi jahat dan berkahi kami dengan yang terbaik].

 

– Sesayut-canang pengrawos, perwujudan mantra Rig Veda I.89.1

Om a no bhadrah krattavo yantu visvatah [Semoga pikiran yang mulia datang dari segala arah].

 

– Sesayut Pageh Urip, perwujudan Maha Mrityunjaya Mantra [Rig Veda VII.59.12]

Aum tryambakam yajamahe, sugandhim pusti-vardhanam, urvarukam iva bandhanan, mrtyor muksiya mamrtat [Kami memuja Dewa Shiva, yang penuh welas asih, yang wanginya memelihara semua mahluk. Semoga kami dibebaskan dari alam kematian menuju pembebasan. Laksana ketimun masak yang sangat mudah melepaskan diri dari tangkai yang mengikatnya].

 

– Dll.

 

3. Banten sebagai yajna [persembahan].

Bisa dikatakan bahwa secara umum landasan pokok dari yajna adalah welas asih dan rasa terimakasih, ke semua arah dan semua loka [alam semesta]. Apa-apa yang kita dapatkan dalam hidup ini, kita kembalikan dalam bentuk persembahan suci [mebanten, yajna, upakara]. Dan aktifitas ini bukannya tidak ada efeknya. Bagi orang-orang yang mata bathinnya sudah terbuka, akan bisa melihat vibrasi kosmik kesucian dan kedamaian di Pulau Bali sungguh luar biasa.

 

4. Banten sebagai sastra [ajaran dharma].

 

Pada jaman dahulu sarana komunikasi tidaklah semudah sekarang. Tidak ada percetakan yang dalam sekejap bisa mencetak ribuan buku, tidak ada internet, dll. Terlebih lagi jaman dahulu banyak sekali orang yang buta huruf. Sehingga oleh para tetua kita yang bijak, ajaran dharma diletakkan atau ”disembunyikan” di dalam banten.

 

Banten adalah ajaran dharma dalam bentuk simbol-simbol yang mona [diam], seperti halnya huruf-huruf tulisan yang diam. Tapi seandainya kita cukup memahami sasahaning tukang banten, lalu disaat kita mejejaitan, maka banten itu dengan sendirinya akan banyak menuturkan berbagai ajaran dharma yang selaras dengan Veda dan Vedanta. Misalnya pada banten itu ada reringgitan dan tetuwasan yang melambangkan keteguhan bathin. Ini bermakna sebagai wujud keteguhan bathin di dalam menghadapi berbagai bentuk godaan kehidupan.

 

Dalam keadaan banyak sekali hambatan untuk meneruskan ajaran dharma secara tertulis di jaman dahulu, para tetua kita yang bijak mengharapkan ajaran dapat ditanamkan ke dalam lubuk hati secara motorik, melalui pembuatan banten.

 

5. Banten sebagai sarana untuk membuat segala sesuatu menjadi baik.

Ada berbagai macam tata-cara banten sesuai tujuannya, yaitu sebagai sarana penyucian, sarana somya [harmonisasi], dari pikiran gelap menuju terang, dari keadaan suram menuju sejahtera, dari bencana menuju aman-tenteram, dll. Secara garis besar, inilah tujuan tertinggi dari banten, yaitu membuat segala sesuatu menjadi baik. Tidak ada tujuan lainnya lagi yang lebih penting.

 

Misalnya [salah satu contoh] banten sebagai sarana somya [harmonisasi]. Alam semesta berada dalam pengaruh vibrasi energi kosmik yang bersifat tri guna [tiga sifat alam], yaitu : sattvam, rajas dan tamas. Sehingga tidak hanya manusia yang memiliki tingkatan-tingkatan spiritual, tapi alam sekitar lingkungan kita juga.  Ketika kita melakukan persembahan, vibrasi energi yang muncul dari persembahan mengurai vibrasi unsur rajas-tamas di alam, sekaligus membangkitkan dan meningkatkan vibrasi unsur sattvam. Sehingga memurnikan vibrasi kosmik alam sekitarnya.

 

Semuanya adalah pengetahuan rahasia yang diperoleh sebagai berkah dari alam dewa oleh para maha-siddha, yang kita warisi sampai saat ini.

 

 

FAKTOR PENTING YANG MEMBUAT BANTEN BISA BERFUNGSI SEMPURNA

 

Yajna yang baik adalah Yajna yang sattvika. Dan ini sama sekali tidak diukur dari besar-kecilnya volume banten atau besar-kecilnya biaya yang dihabiskan. Melainkan harus memenuhi tiga persyaratan di bawah ini :

 

1. Sumber bahan harus baik.

 

Banten harus bersumber dari bahan atau uang yang baik, tidak dari hasil korupsi, mencuri, merampok, menipu, berhutang, menjual tanah warisan, dll. Banten yang bersumber dari bahan atau uang yang tidak baik, tidak nyambung dan sia-sia. Persembahan yang bersumber dari bahan atau uang seperti itu percuma, sebab vibrasi sattvam [jyoti atau cahaya] dari banten-nya hilang.

 

Maka dari itu, penting sekali membuat banten yang sesuai dengan kemampuan kantong kita yang sewajarnya, agar tujuan yajna dapat tercapai.

 

2. Proses pembuatan.

 

Ketika membuat banten, sebisa mungkin kita harus membuatnya dengan pikiran bersih, disertai ketulusan dan kesabaran. Kalau bisa dengan diam atau dengan menyanyi lagu-lagu kidung surgawi [atau boleh juga dengan lagu-lagu mantra ala modern], agar pikiran kita terpusat. Jangan membuat banten sambil bergosip atau omongan aneh-aneh lainnya. Kita bisa bandingkan dengan saat  banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih. Tempat membuat banten disebut dengan pesucian yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan. Ini erat kaitannya dengan proses pembuatan.

 

Kalaupun banten-nya membeli, membelinya jangan disertai dengan keluhan-keluhan ini-itu. Sebab hal ini berpengaruh kepada vibrasi banten-nya.

 

3. Proses menghantar.

 

Apapun yang terjadi ketika kita menghaturkan banten, jangan lupa dilaksanakan dengan sejuk, teduh dan penuh kesabaran. Kalau gara-gara mebanten kita bertengkar atau marah-marah, hal ini sangat mempengaruhi banten-nya. Jangan pernah sampai karena banten, yajna atau upakara kita jadi menyakiti hati orang lain.

 

 

BESAR-KECILNYA BANTEN

Ada sembilan alternatif volume banten, yaitu  mula-mula dibagi dalam 3 kelompok, alit, madya, utama. Kemudian masing-masing kelompok dibagi lagi menjadi 3 sub kelompok, misalnya : aliting alit, madyaning alit, utamaning alit, dll.

 

Tidak benar kalau ada yang menyebutkan bahwa besar-kecilnya volume banten menentukan hasil yajna [upakara]. Tidak benar bahwa untuk setiap upakara diharuskan dengan volume banten besar. Ini ada dua kemungkinan, salah kaprah [ketidak-tahuan] atau sebuah ketidak-jujuran yang bermotif materi.

 

Dalam berbagai lontar kuno di Bali banyak yang menjelaskan hal ini, diantaranya Lontar Kusuma Dewa [copy original tersimpan di Gedong Kertya, Singaraja]. Kesembilan alternatif volume banten itu adalah sama, tidak berbeda tingkatan secara siginifikan. Hal yang membedakan adalah, semakin kecil volume bantennya, maka semakin banyak mantra yang dibacakan oleh yang memuput upakara-nya. Sebaliknya semakin besar volume bantennya, maka semakin sedikit mantra yang dibacakan oleh yang memuput upakara-nya. Ini berarti bahwa volume banten yang kecil bisa digantikan oleh mantra.

 

Sekali lagi, penting sekali membuat banten yang sesuai dengan kemampuan kantong kita yang sewajarnya, agar tujuan yajna dapat tercapai. Karena yang menentukan banten adalah sumber bahan, proses pembuatan dan proses menghantar sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

 

BAGAIMANA KALAU TIDAK ADA BANTEN

 

Banten adalah yajna [persembahan], sehingga banten tetap dibutuhkan. Tapi dalam keadaan tertentu, kita mungkin saja mengalami kesulitan memperoleh banten yang sesuai.

 

Misalnya [hanya contoh] kita punya niat untuk sembahyang ke sebuah pura, tapi karena satu hal kita tidak bisa membuat atau memperoleh pejati. Disini pejati bisa kita ganti dengan cukup satu buah canang sari saja, karena canang sari adalah volume alit dari pejati [pejati = utama, canang sari = alit]. Tapi kalaupun canang sari juga tetap tidak bisa, kita bisa ganti dengan cukup ketulusan dan kebersihan bathin. Dan ini adalah pondasi dasar yang terpenting dari semuanya.

 

 

HAL YANG TERPENTING

Sebagian kecil orang ada yang menganggap perjalanan bhatin, perjalanan karma dan perjalanan ke alam kematian akan selesai dengan banten dan upakara. Hal ini adalah sebuah pendapat yang sangat salah. Satu-satunya hal yang paling berguna adalah bathin yang bersih, sejuk dan terang.

 

Menjadi penganut Hindu itu sakral, karena sejak lahir sampai mati, tidak terhitung banyaknya upakara yang dibikin untuk diri kita hanya untuk membuat kita menjadi baik [mulai bayi baru lahir di RS, bayi pulang sampai di rumah, 12 hari, 3 bulan, 6 bulan, otonan, dll dst—nya]. Dan satu hal yang akan membuat kesakralan ini baru muncul cahaya terangnya adalah, kalau di dalam bathin dan di dalam keseharian, kita juga baik.

 

Banten, yajna dan upakara itu baik dan penting. Tapi yang nomer satu terpenting adalah bagaimana membuat bathin kita menjadi bersih, sejuk dan terang. Bagaimana cara mendasar untuk membuat bathin kita bersih, sejuk dan terang ? Dengan welas asih, kebaikan, kesabaran, rendah hati dan selalu berpikir positif. Di jalan dharma, kita boleh lupa yang lain, tapi harus ingat yang satu hal pokok yang terpenting, yaitu welas asih dan kebaikan. Rasa hormat dan welas asih kepada orang lain, mahluk lain, pepohonan, gunung, sungai, dll semua yang ada di bumi ini, secara nyata dalam keseharian kita.

 

Rumah Dharma – Hindu Indonesia

Hukum Karma

Hukum Karma

 

Hindu mengajarkan bahwa di keseluruhan alam semesta ini berlaku dua hukum semesta, yaitu Hukum Karma [hukum yang mengatur mahluk, jalan hidup dan kehidupan] dan Hukum Rta [hukum alam, yang mengatur alam semesta, benda dan materi]. Kedua hukum ini saling berkaitan satu sama lain, akan tetapi dalam tulisan ini khusus yang akan dibahas adalah tentang Hukum Karma.

 

PENJELASAN TENTANG KARMA

 

Berbeda dengan sebagian agama yang mengajarkan tentang “Takdir Tuhan” -dimana kehidupan kita di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang ditentukan oleh takdir Tuhan-, agama-agama dharma [Hindu, Buddha dan Jain] mengajarkan yang berbeda, yaitu “Hukum Karma”.

 

Kadang ada kesalahpahaman bahwa hukum karma sama dengan “nasib”, bahkan “suratan takdir Tuhan” [berarti semuanya ditentukan Tuhan]. Perlu diketahui bahwa dalam hukum karma tidaklah demikian, “suratan takdir” ini ditulis sendiri oleh diri kita sendiri. Kitalah yang mendesain nasib kita, bukan oleh Brahman, Dewa-Dewi ataupun pihak lain. Dalam ajaran Hindu, Brahman atau Purusha memang diyakini sebagai penyebab utama, tetapi dalam hal ini Brahman sebenarnya hanya “pengamat / saksi abadi”.

 

Karma berarti “perbuatan / tindakan”. Hukum karma adalah hukum semesta sebab-akibat, dimana setiap tindakan kita akan membuahkan hasil tindakan atau buah karma [karma-phala]. Yang berarti apapun yang terjadi pada diri kita di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, ditentukan sepenuhnya oleh tindakan diri kita sendiri. Tanpa ada intervensi dari Brahman, Dewa-Dewi ataupun pihak lain. Dan yang dimaksud dengan “tindakan” itu adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sendiri. Ketiganya ini yang akan berbuah atau membuahkan hasil. Oleh karena ada satu aksi, akan ada suatu reaksi. Hukum inilah yang mengatur kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos, kehidupan semua mahluk di alam semesta.

 

Hukum karma sama sekali bukan tentang hukuman atau hadiah [pahala] dari Tuhan, tapi tentang tindakan kita sendiri beserta seluruh konsekuensinya. Kalau kita sombong, maka yang akan datang kepada kita adalah kebencian. Kalau kita penuh kebaikan, maka yang akan datang kepada kita adalah simpati dan pertolongan. Kalau kita menyakiti, maka kita akan disakiti. Kalau kita penuh kesabaran, maka yang akan datang kepada kita adalah simpati dan kasih sayang. Kalau kita banyak mengambil kebahagiaan orang, maka kita juga akan banyak mengambil penderitaan, dll.

 

Hukum inilah yang menjelaskan, mengapa dalam kelahiran saat ini ada yang lahir miskin atau kaya, ada yang lahir tampan / cantik atau jelek, ada yang lahir dengan kehidupan mudah atau kehidupan penuh dengan kesulitan, dll.

 

Hukum karma bekerja pada semua lapisan badan kita [kosha]. Misalnya karma pada badan fisik : makan yang kurang teratur akan menyebabkan tubuh sakit. Atau karma pada badan pikiran : biasa berpikir yang positif dan sejuk akan berakibat pada perasaan kita sendiri yang menjadi tenang, dll. Atau kombinasi keduanya : suka marah-marah akan menyebabkan kita kena stroke di masa tua.

 

KARMA-PHALA [BUAH KARMA]

 

Berdasarkan rentang waktu, ada tiga jenis karma-phala yang didasarkan atas waktu dari buah karma itu matang dan kita terima, yaitu :

 

1. Sancita Karmaphala [karma masa lalu] – tindakan yang kita lakukan di masa lalu atau kehidupan [kelahiran] sebelumnya, yang buah karma-nya [karma-phala] baru matang dan kita terima di saat ini atau di kehidupan [kelahiran] sekarang.

2. Prarabda Karmaphala [karma saat ini] – tindakan yang kita lakukan di saat ini, yang buah karma-nya [karma-phala] matang dan kita terima di saat ini juga.

3. Kriyamana Karmaphala [karma masa depan] – tindakan yang kita lakukan di saat ini, yang buah karma-nya [karma-phala] baru matang dan kita terima di masa depan atau di kehidupan [kelahiran] berikutnya.

 

Sehingga, kalau di hari ini hidup kita banyak kesulitan, tidak punya banyak uang atau gagal mendapatkan apa yang kita inginkan, tidak perlu protes kepada kehidupan atau protes kepada Hyang Widhi, Dewa-Dewi dan Betara. Sadarilah bahwa itu hanya buah dari apa yang pernah kita lakukan di masa lalu.

 

TIGA JENIS CARA ORANG BERSIKAP DI DEPAN KARMA

 

Secara garis besar, ada tiga macam sikap orang di depan karma :

 

1. VIKARMA – Orang yang melawan karma-nya.

 

Cara terburuk berhubungan dengan karma adalah dengan melawannya. Ada hukum alam yang berlaku : siapa saja yang melawan karma-nya, dia akan disambut dengan kesengsaraan.

 

Tidak putaran karma-nya jadi orang kaya, memaksakan diri biar bisa jadi orang kaya [bahkan cara menipu atau korupsi-pun ditempuh], ujung-ujungnya pasti sengsara. Tidak putaran karma-nya jadi anggota DPR, memaksakan diri biar bisa jadi anggota DPR, ujung-ujungnya pasti sengsara. Tidak putaran karma-nya punya istri cantik, memaksakan diri biar bisa punya istri cantik, ujung-ujungnya pasti sengsara. Hanya mau yang baik dan tidak mau yang buruk, hanya mau yang menyenangkan dan tidak mau yang tidak menyenangkan. Hidup akan menjadi hidup yang terjebak dengan jerat ketidak-puasan, kesedihan, protes atau bahkan ketakutan.

 

2. KARMA-GYANI – Orang yang mengalir dengan karma-nya.

 

Cara yang baik untuk berhubungan dengan karma adalah dengan mengalir bersama putaran karma kita sendiri. Orang yang mengalir dengan karma-nya, bathinnya damai dan lebih mudah berbahagia. Bagi orang yang mengalir dengan karmanya, kedamaian dan kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Tidak saja dalam kehidupan kita bisa memilih untuk damai, tapi di depan kematian kita juga bisa memilih untuk damai.

 

Ketika kita punya cita-cita jadi direktur, berusaha dan bekerja keraslah untuk merealisasikannya, tetapi setelah semua usaha dan upaya keras, kemudian putaran karma kita hanya jadi pegawai biasa, mengalirlah damai dengan karma itu. Ketika punya cita-cita jadi orang kaya, berusaha dan bekerja keraslah untuk merealisasikannya, tetapi kalau kemudian setelah semua usaha dan upaya keras, putaran karma kita hanya punya uang terbatas, mengalirlah damai dengan karma itu. Kita musti bekerja keras di dalam melaksanakan svadharma [tugas kehidupan] kita, tapi apapun yang terjadi, apapun hasilnya, terima dengan senyum damai. Dalam istilah tetua Jawa : nrimo ing pandum, karena itu bagus untuk memotong mata rantai kegelapan bathin seperti : kebencian, dendam, kemarahan, iri hati, keserakahan, dll.

 

Orang-orang seperti ini berani mengatakan ke diri sendiri : ini karma saya dan saya akan menyatu dengan karma saya ini. Semuanya dijalanin saja. Termasuk ketika dia disakiti, dihina, ditipu, ketemu orang jahat, ketemu orang yang memperlakukan dengan tidak baik, sakit keras, dll, dia berkata ke diri sendiri : saya sedang membayar hutang karma. Dan bagi dia tidak usah menciptakan karma buruk yang baru dengan cara marah-marah, protes atau bersedih. Termasuk ketika sudah membuat karma baik-pun tidak perlu dia ceritakan dan mengharapkan hasilnya.

 

3. AKARMA – Orang yang melampaui karma.

 

Ini adalah orang yang bertemu dengan puncak ajaran sanatana dharma. Di Jawa dan Bali, para tetua menyebutnya dengan wilayah-wilayah kamoksan [pembebasan], ketika seluruh dualitas [baik-buruk, hitam-putih, benar-salah, suci-kotor] berhenti. Atau biasa kita sebut sebagai Rwa Bhinneda. Yang tersisa hanya keheningan sempurna.

 

Di titik ini roda samsara berhenti, hukum karma berhenti bekerja dan kelahiran kembali ke dunia tidak lagi terjadi.

 

APAKAH KARMA BISA BERUBAH ?

 

Ada karma masa lalu [Sancita Karmaphala] dan ada karma saat ini [Prarabda Karmaphala]. Yang kita alami buah karma-nya saat ini adalah hasil interaksi karma masa lalu dan karma saat ini. Di masa lalu kita boleh punya banyak karma buruk [asubha karma], tapi kita bisa dapat keringanan kalau kita mengisi kehidupan kita di hari ini penuh dengan welas asih dan kebaikan. Atau sebaliknya, di masa lalu kita boleh punya banyak karma baik [subha karma], tapi kita bisa dapat kesulitan lain kalau kita mengisi kehidupan kita di hari ini dengan hal-hal yang tidak baik.

 

Misalnya >>> Putaran karma kita hari ini harus dibunuh orang lain [karena di beberapa kehidupan sebelumnya kita sering membunuh orang dan hari ini karmanya harus kita bayar]. Tapi karena di saat ini kita penuh dengan welas asih, kebaikan dan kita menghadapinya dengan sikap bathin yang tenang dan damai – kita tidak jadi dibunuh, kita hanya dipukuli saja. Atau misalnya putaran karma kita hari ini ditipu orang sampai benar-benar bangkrut, tapi karena di saat ini kita penuh dengan welas asih, kebaikan dan sikap bathin kita tenang, damai – kemudian entah bagaimana ada orang yang datang menolong kita sebelum kita jadi gelandangan. Dll.

 

Atau sebaliknya putaran karma kita hari ini akan menjadi pejabat penting [karena kita punya banyak tabungan karma baik dan hari ini buah-karmanya bisa kita nikmati], tapi karena disaat ini kita sering menjelek-jelekkan atasan kita, kita bisa batal jadi pejabat penting karena atasan kita marah kepada kita. Atau misalnya putaran karma kita hari ini menjadi orang kaya, tapi karena disaat ini kita suka judi atau selingkuh, kita bisa jatuh miskin. Dll.

 

Masa lalu tidak bisa diperbaiki karena sudah berlalu. Dalam kelahiran sebelumnya kita jadi siapa dan seperti apa, itu tidak penting karena sudah berlalu dan tidak bisa diperbaiki. Yang paling penting adalah BAGAIMANA KITA BERSIKAP DAN BERPERILAKU DI HARI INI. Bahkan orang yang harus mengalami karma buruk-pun bisa dapat keringanan kalau sikap dan perilaku-nya baik di saat ini. Demikian juga sebaliknya.

 

Sehingga fokus sikap hidup yang tepat bagi kita di saat ini adalah :

 

1. LAKSANAKAN AJARAN DHARMA. Bersihkan bathin dari Sad Ripu [enam kegelapan bathin] melalui kesabaran, rasa syukur, kerendah-hatian, dll. Bersikaplah penuh welas asih dan banyak-banyak melakukan kebaikan-kebaikan kepada semua mahluk.

2. LAKSANAKAN DENGAN SEBAIK-BAIKNYA APA SVADHARMA [TUGAS KEHIDUPAN] KITA SAAT INI. TAPI APAPUN HASILNYA, TERIMA DENGAN SENYUM DAMAI. Kerja keraslah di dalam melaksanakan svadharma kita, jadi apapun kita : pegawai, pengusaha, tentara, guru, pedagang, sebagai orang tua di rumah, dll. Kalau kita jadi tukang sapu jalan, jadikanlah jalan itu jalan paling bersih di dunia. Kalau kita jadi polisi, jadikanlah wilayah tugas kita wilayah teraman di dunia. Karena melaksanakan svadharma dengan baik membuat kita terhindar dari hutang karma yang baru, sekaligus membuat banyak karma baik.

 

Hanya dengan cara melaksanakan kedua hal itu secara bersama-sama, karma buruk bisa dikurangi dan karma baik bisa diperbanyak. Syukur-syukur kalau jalan-jalan menuju pembebasan kemudian bisa banyak terbuka untuk kita, karena di SAAT INI perilaku kita penuh welas asih, kebaikan, sabar, rendah hati dan sikap bathin kita yang terkendali, tenang dan damai.

 

 

Rumah Dharma – Hindu Indonesia

Empat aspek dalam melaksanakan svadharma [tugas kehidupan]

Empat aspek dalam melaksanakan svadharma [tugas kehidupan]

Asato ma sad-gamaya

Tamaso ma jyotir-ga-maya

Mrtyor-ma amrtam gamaya

[Brhadaranyaka Upanishad 1.3.28]

 

Terjemahan :

Tuntun saya dari realitas materi menuju realitas absolut

Tuntun saya dari kegelapan menuju penerangan

Tuntun saya dari lahir-mati menuju hakikat diri sejati yang abadi

 

Di dalam mengarungi samudera kehidupan, secara paling sederhana ada empat aspek yang musti kita kembangkan agar melaksanakan svadharma dalam hidup bisa berjalan, sekaligus membimbing kita menuju penerangan.

 

KESABARAN

 

Dalam dharma kita diajarkan, hidup ini adalah karma yang berputar. Salah satu sebab kita dilahirkan kembali ke dunia ini adalah untuk membayar hutang karma. Sehingga lebih cepat kita bisa melunasi hutang tersebut lebih bagus. Karena dengan demikian banyak jalan akan terbuka untuk kita, yang akan membimbing kita menuju kondisi-kondisi kesadaran yang terang.

 

Celakanya banyak diantara kita terlahir kembali ke dunia bukannya membayar hutang karma, melainkan menambah hutang karma baru. Misalnya : suami / istri marah-marah, kita balas marah-marah lebih keras lagi. Ini adalah hal yang harus direnungkan kembali. Pertama tidak bayar hutang karma, kedua menambah hutang karma baru. Ketika kita terlahir kembali ke dunia ini, suami / istri kita akan jadi orang yang lebih menyulitkan dan menyakiti kita. Tambah parah. Sehingga yang terbaik adalah, diamlah, sabar dan tetaplah sejuk dan damai. Sebabnya kita ketemu suami / istri yang galak, adalah karena kita membayar hutang karma kepada suami / istri kita itu. Kalau dia marah, kita bisa diam, sabar dan tetap sejuk, kita bayar hutang karma dan hutang karmanya lunas.

 

Salah satu pilihan terbaik dalam hidup adalah membayar hutang karma secepat-cepatnya. Dan dengan siapa orang yang harus kita bayar hutang karma itu ? Itulah mereka orang-orang yang suka menyakiti kita. Setiap bertemu orang yang menyakiti kita, itu tanda-tanda kita sedang membayar hutang karma. Kalau kita ditipu sama tetangga, diamlah-sabar dan tetap sejuk. Kalau mobil kita ditabrak orang, diamlah-sabar dan tetap sejuk. Intinya : ketika kita ada masalah dengan orang, diamlah-sabar dan tetap sejuk. Karena hanya dengan demikian kita membayar hutang karma. Jangan melawan dengan kemarahan, apalagi caci-maki dan kebencian.

 

Yang terindah dari hal ini adalah, ketika kita terus-menerus membayar hutang karma, kita menjadi manusia yang sabar. Kesabaran membuat bathin kita mudah sekali menjadi tenang. Dan ketika kesabaran menyatu dengan ketenangan, kita bisa menerima hidup apa adanya [nrimo]. Ujung-ujungnya kita menjadi manusia yang dengan bathin yang shanti [damai]. Dan dengan bathin yang shanti, kemanapun kita akan mudah terhubung dengan wilayah-wilayah kemahasucian. Ketika kita sembahyang, akan terasa bedanya. Ketika kita meditasi, akan terasa bedanya. Demikianlah cara hidup membimbing kita menuju kondisi-kondisi kesadaran yang terang.

 

KERJA KERAS

 

Hidup ini sebuah dharma, melaksanakan kerja itu sebuah dharma. Dharma akan menjadi indah kalau kita laksanakan. Tanda-tanda kerja kita menjadi dharma yang dilaksanakan adalah ketika kita melaksanakan tugas-tugas kehidupan kita dengan sebaik-baiknya, tapi apapun yang terjadi, apapun hasilnya, terima dengan senyum damai. Misalnya : kalau kita jadi room boy di hotel, bersihkan kamar hotel sebaik-baiknya, lupakan berapa kita dapat gaji dari perusahaan atau berapa kita dapat tips dari tamu. Kalau kita pegawai bank, layani semua nasabah dengan sebaik-baiknya, lupakan berapa kita dapat gaji dari perusahaan atau kapan kita naik pangkat.

 

Kalau kita belajar dharma, tapi setiap hari mengeluh gaji kurang banyak, atasan atau tamu hotel memperlakukan kita kurang bagus, itu sama sekali tidak nyambung dengan ajaran dharma. Karena melaksanakan dharma sehari-hari itu bisa begitu sederhana : laksanakan tugas-tugas kehidupan [svadharma] kita dengan sebaik-baiknya, tapi apapun yang terjadi, apapun hasilnya, terima dengan senyum damai. Kalau kita menjadi ibu rumah tangga, fokuskan diri melayani anak dan suami dengan sebaik-baiknya, itu dharma. Kalau kita menjadi petugas kolam renang, fokuskan diri menjadikan kolam renang kita kolam renang paling bersih di dunia, itu dharma. Kalau kita menjadi pegawai, fokuskan diri melaksanakan perintah atasan lebih baik dari yang dia niatkan, itu dharma. Kalau kita menjadi polisi, fokuskan diri menjadikan wilayah tugas kita menjadi tempat paling aman dan tertib di dunia, itu dharma. Karena tempat melaksanakan dharma tidak hanya di pura, di tempat kerja juga tempat melaksanakan dharma, di rumah juga tempat melaksanakan dharma dan seluruh hidup ini tempat melaksanakan dharma.

 

Orang-orang yang bekerja dengan spirit penuh keluhan, penuh ketidakpuasan, bathinnya terbakar. Sebaliknya semakin banyak sattvam [kemurnian bathin] dalam hidup kita, semakin efisien dan mudah kita menunaikan tugas-tugas kehidupan kita. Sehingga bekerjalah dengan keras, dengan sebaik-baiknya, di dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan [svadharma] kita. Dan jangan bekerja dengan spirit yang penuh keluhan-keluhan : gaji tidak naik-naik, atasan tidak adil, dll.

 

Bahkan kalau bisa : kalau kita dibayar dengan nilai 10 oleh perusahaan, kita bekerja dengan nilai 15. Kalau kita dibayar dengan nilai 15 oleh perusahaan, kita bekerja dengan nilai 20. Dst-nya. Selalu memberi dan memberi nilai lebih kepada kehidupan. Karena dengan cara seperti itu, kita sedang menabung banyak karma baik. Kenapa ada banyak wajah yang kusut dan menyerengut di jaman sekarang ? Karena dia dibayar dengan nilai 10, kerjanya nilainya 5. Ngabsen pagi-pagi, kita minta diabsenin sama teman. Orang-orang seperti itu, orang-orang yang setiap hari membuat hutang karma kepada kehidupan. Dibandingkan berhutang lebih baik memberi yang lebih.  Kalau kita dibayar dengan nilai 10 oleh perusahaan, bekerjalah dengan nilai 15. Kalau kita dibayar dengan nilai 15 oleh perusahaan, bekerjalah dengan nilai 20. Dst-nya. Karena kalaupun atasan kita tidak mencatat, ada atasan yang lebih tinggi [hukum karma, hukum semesta] yang mencatat keikhlasan kerja kita.

 

 

BERSYUKUR

 

Hidup seperti pertandingan sepakbola, tidak ada tim yang menang terus. Hidup seperti orang yang berjualan, tidak ada pedagang yang untung terus. Hidup persis seperti alam, habis siang ada malam, habis panas ada hujan, habis jalan menanjak ada jalan menurun. Sayangnya sebagian besar manusia sengsara dan bathinnya berguncang karena mau yang baik-tidak mau yang jelek, mau naik-tidak mau turun, mau menang-tidak mau kalah, mau untung tidak mau rugi.

 

Kenapa ada manusia yang tidak siap menerima ha-hal yang negatif ? Karena serakah. Menangnya mau, tapi kalahnya tidak mau. Baiknya mau, tapi jeleknya tidak mau. Istri cantik kita terima, tapi begitu cerewet mau kita ceraikan. Padahal tidak ada orang yang grafik hidupnya selalu naik, selalu dapat yang baik, selalu bahagia, TIDAK ADA HIDUP SEPERTI ITU. Menyiapkan diri menerima hal yang menyenangkan itu mudah, tapi menyiapkan diri menerima hal yang tidak menyenangkan, itu orang bijaksana. Terlebih karena kebijasanaan dan kedewasaan itu akan bisa muncul, kalau kita sering mengalami kekalahan, kerugian atau kejatuhan.

 

Hiduplah dengan penuh rasa syukur kepada apapun yang terjadi. Caranya dengan belajar melihat sisi indah dari setiap kejadian, karena selalu ada keindahan dalam setiap kejadian. Bersyukur tidak hanya ketika suami atau istri sayang sama kita, tapi juga bersyukur ketika suami atau istri marah-marah, karena itu adalah guru kesabaran yang sejati. Bersyukur tidak hanya ketika gaji naik, tapi juga bersyukur ketika ada pemotongan gaji, karena kita diajarkan untuk menjadi hemat dan tidak menuruti hawa nafsu [beli ini-itu]. Orang yang ke semua arah penuh dengan rasa syukur, hidupnya terang seperti matahari. Tidak diterangi oleh cahaya luar, tapi diterangi oleh cahaya dalam.

 

Dengan hidup yang penuh rasa syukur, kita membuat bathin kita tambah terang, sekaligus mencegah diri kita membuat hutang karma yang baru dengan marah-marah, protes, dll.

 

 

KEBAIKAN

 

Lakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan, lalu segera lupakan. Bantulah orang yang memerlukan pertolongan, buatlah hati orang lain menjadi senang dan bahagia, setelah itu lupakan. Dan melaksanakan kebaikan seperti ini bukan saja membuat orang lain bahagia dan bisa membantu kita dalam menghadapi karma buruk dalam hidup, tapi juga sekaligus menerangi bathin kita sendiri.

 

Lakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Kalau tidak bisa atau tidak mampu, cukup jangan menyakiti.

 

 

Rumah Dharma – Hindu Indonesia

Brahman dan riwayat singkat Alam Semesta.

Brahman dan riwayat singkat Alam Semesta.

BRAHMAN

 

Brahman adalah nirguna [melampaui semua sifat alam], niranjana [murni], nirvikalpa [melampaui semua penjelasan] dan acintya [tidak terpikirkan]. Karena tidak ada kata-kata maupun pemikiran yang bisa menjelaskan Brahman. Yang ada maupun yang tidak ada adalah manifestasi Brahman, berawal dari Brahman dan berakhir pada Brahman.

 

Segala yang ada di alam semesta ini adalah manifestasi Brahman, termasuk Purusha dan Prakriti. Akan tetapi Brahman tidak bisa dijelaskan. Itulah sebabnya Brahman juga disebut Acintya atau [kalau di Bali] Hyang Acintya. Dalam bahasa sansekerta acintya berarti tidak terpikirkan. Menurut para maharsi, kata-kata yang paling mendekati yang bisa menjelaskan Brahman, walaupun juga tidak tepat, adalah Sat-Chit-Ananda [realitas absolut – kesadaran – kebahagiaan murni].

 

 

PURUSHA DAN PRAKRITI

Keseluruhan alam semesta ini terdiri dari dua realitas : Purusha – realitas absolut [kesadaran murni] dan Prakriti – fenomena alam materi [energi-materi].

Purusha adalah realitas absolut, kesadaran murni. Mutlak, tidak tergantung, bebas, tidak terasa, tidak kelihatan, diluar semua pengalaman dan diluar semua kata-kata dan penjelasan. Tidak terpikirkan. Kesadaran tanpa sifat yang selalu murni. Purusha tidak berasal dari sesuatu dan tidak menghasilkan / menimbulkan sesuatu.

 

Sedangkan Prakriti dalam bahasa manusia yang paling mendekati adalah energi. Jadi Prakriti bisa disebut sebagai divine energy [energi ilahi]. Prakriti adalah penyebab awal dari seluruh fenomena alam materi, seluruh dimensi alam semesta -dan segalanya-, kecuali purusha, yang tidak memiliki penyebab maupun menjadi sebab. Prakriti menjadi sumber asal dari apapun yang bersifat material [fisik] dan energi.

 

Hal ini juga dijelaskan di dalam Veda : “Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” [ Rig Veda 2.72.4 ] – dari aditi [materi] asalnya daksa [energi] dan dari daksa asalnya aditi -. Ini teori yang sama dengan teori E=mc2 yang ditulis oleh Einstein.

 

Menurut hukum Satkaryavada, sejatinya tidak ada sesuatupun yang dapat diciptakan, maupun sebaliknya : dihancurkan ke dalam ketiadaan. Yang ada adalah transformasi dari satu bentuk ke bentuk lainnya belaka. Ini juga bisa berarti dalam fenomena alam materi yang penuh aktifitas [utpetti, sthiti, pralina – pembentukan, pengembangan dan penghancuran], sejatinya tidak ada yang diciptakan atau dihancurkan, hanya dinamika perubahan bentuk dari satu bentuk ke bentuk lainnya, dari materi menjadi energi dan dari energi menjadi materi. Hanya dikatakan saja sebagai utpetti, sthiti, pralina, karena begitulah yang terlihat dalam realitas materi.

 

Keseluruhan alam semesta dalam fenomena dinamika perubahan dan aktivitas [utpetti, sthiti, pralina – pembentukan, pengembangan dan penghancuran] dalam realitas materi [prakriti] diistilahkan sebagai tarian kosmik Brahman. Sering disimbolikkan sebagai Shiva Nataraja [tarian kosmik Shiva]. Kita adalah tarian Brahman dalam realitas materi. Segala hal di alam semesta, semua yang kita lihat, dengar dan bayangkan, adalah dinamika [pergerakan]. Galaksi-galaksi melayang tinggi dalam pergerakan, atom-atom dalam pergerakan dan semua pergerakan adalah tarian kosmik Brahman.

 

Perputaran utpetti, sthiti, pralina ini disebut Brahma Cakra. Satu putaran Brahma Cakra mulai dari pembentukan sampai penghancuran [maha pralaya] memakan waktu 1 siang + 1 malam Brahma [1 hari Brahma], yang sama dengan 8,4 Milyar tahun.

 

BRAHMA CAKRA [RODA CAKRA ALAM SEMESTA]

 

1. Roda penciptaan dan penghancuran alam semesta.

Menurut hukum Satkaryavada, “akibat” pra-eksis di dalam “sebab”. Sebab dan akibat dipandang sebagai sisi-sisi sementara yang berbeda dari satu hal yang sama – akibat terletak terpendam [tersembunyi] di dalam sebab yang pada gilirannya menebar benih pada akibat berikutnya.

 

Hukum Prakriti-Parinama Vada menyatakan bahwa “akibat” adalah perubahan nyata dari “sebab”. Sebab yang dimaksudkan disini adalah Prakriti [divine energy] atau tepatnya Mula-Prakriti [primordial matter / materi yang mula-mula]. Dalam evolusinya [perkembangannya], Prakriti berevolusi menjadi Mula-Prakriti dan dari sini menjadi berbagai obyek yang berbeda-beda dan beragam. Seperti yang dijelaskan di dalam Veda : “Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” [ Rig Veda 2.72.4 ] – dari aditi [materi] asalnya daksa [energi] dan dari daksa asalnya aditi -. Ini teori yang sama dengan teori E=mc2 yang ditulis oleh Einstein.

 

Evolusi [perkembangan] ini kemudian diikuti oleh peleburan atau pembubaran. Dalam pralina wujud materi [fisik] ini, semua obyek di seluruh dimensi alam semesta ini kembali menyatu dengan Prakriti, yang berarti yang ada hanya Prakriti [energi ilahi yang mula-mula] saja. Semuanya berlangsung laksana putaran roda [cakra] perkembangan-pemeliharaan-peleburan yang saling berputar [laksana roda chakra] bergantian secara terus menerus. Sering disimbolikkan sebagai Shiva Nataraja.

 

2. Pembentukan atau pengembangan alam semesta.

Karena prakriti adalah dasar atau pondasi [tattva] dari seluruh fenomena dan dimensi alam semesta dia juga sering disebut PRADHANA. Dinamika prakriti dipicu [dipengaruhi] oleh tiga intisari sifat dasar-nya [tri guna], yaitu :

 

1. Sattvam – unsur keseimbangan.

2. Rajas – unsur aktif [pengembangan, pemuaian atau dinamika aktifitas].

3. Tamas – unsur statik [kelembaman atau perlawanan untuk melakukan kegiatan].

 

Dalam kondisi seimbang total [sattvam], seluruh materi semesta terserap kembali ke dalam Prakriti. Namun apabila Prakriti diguncang oleh unsur aktifnya [rajas], sehingga Prakriti menjadi tidak seimbang, maka terciptalah alam semesta ini. Seluruh materi memencar menyebar ke segala arah dan terciptalah wujud alam semesta raya. Dimana dinamika murni Prakriti mengembangkan dirinya secara berurutan sambung-menyambung menjadi dua puluh empat tattva [asas dasar]. Evolusi [perkembangan] ini sendiri terjadi karena Prakriti selalu dalam keadaan tidak stabil akibat tekanan tiga unsur intisari sifat dasar-nya [tri guna].

 

Kedua puluh empat tattva [asas dasar] itu adalah :

>>> PRAKRITI [divine energy] – asas dasar paling halus yang merupakan sumber di balik segala apapun yang ada di seluruh dimensi alam semesta -dan segalanya-, kecuali purusha. Juga diidentikkan dengan Mula-Prakriti [primordial matter / materi purba yang mula-mula]. Prakriti di intisarinya sendiri adalah keadaan keseimbangan total [sattvam].

 

>>> MAHAT – Ketika kondisi Prakriti tengah aktif, maka saat itulah terjadi pertemuan antara Purusha dan Prakriti. Dari pertemuan keduanya lahir hasil pertama dari evolusi Prakriti, yaitu mahat [dinamika murni]. Mahat juga identik dengan cosmic mind atau maha-kesadaran kosmik. Saat mahat [cosmic mind] ini bangkit, alam semesta ini belum juga ada. Kemudian karena pengaruh unsur Rajas [aktif / kerja] dari Tri Guna, cosmic mind ini mulai berkreasi [lila] dan mengembangkan ciptaan [dinamika].

 

Dari sini lahirlah citta semesta, cikal bakal memori subyektif-relatif seluruh makhluk. Citta adalah Purusha yang sudah “terkontaminasi”, jatuh dan terperosok akibat belenggu Prakriti. Begitu citta semesta tercipta, maka pengaruh Prakriti semakin besar. Prakriti kembali menanamkan belenggunya kepada citta semesta, dari sini maka lahirlah buddhi [kecerdasan] semesta, sebagai cikal bakal kesadaran dan kecerdasan relatif seluruh makhluk.

 

>>> AHAMKARA – Akibat unsur rajas ini juga, hasil kedua dari evolusi Prakriti adalah ahamkara [ke-aku-an atau ego]. Ahamkara inilah yang bertanggung-jawab terhadap perasaan “aku” dalam mahluk hidup. Ahamkara juga adalah penyebab identifikasi diri yang berbeda dengan alam luar beserta segala isinya. Disini kondisi Purusha sudah semakin terbelenggu Prakriti. Keterbatasan dan kebodohan sudah mulai melekati Atman.

 

>>> PANCA TANMATRA [lima bahan materi halus] – adalah hasil dari Mahat, bersamaan muncul dengan Ahamkara. Masing-masing Tanmatra ini terbentuk dari salah satu aspek Tri Guna, yaitu :

 

1. Sabda Tanmatra [unsur halus dari ruang].

2. Sparsa Tanmatra [unsur halus dari udara atau gas].

3. Rupa Tanmatra [unsur halus dari cahaya atau api].

4. Rasa Tanmatra [unsur halus dari cairan].

5. Gandha Tanmatra [unsur halus dari materi padat].

 

>>> MANAS [pikiran] atau “Antahkarana” – berkembang dari kesemua [total] aspek sattvam dari Pancha Tanmatra dan Ahamkara.

 

>>> PANCHA JNANA INDRIYA – lima indra perasa, yang berkembang dari aspek sattvam dari Ahamkara, yaitu :

 

1. Cakshu semesta [cikal bakal penglihatan].

2. Srota semesta [cikal bakal pendengaran].

3. Ghrana semesta [cikal bakal penciuman].

4. Jihva semesta [cikal bakal perasa lidah].

5. Tvak semesta [cikal bakal peraba seluruh tubuh].

 

>>> PANCHA KARMA INDRIYA – lima organ tindakan, yang berkembang dari aspek Rajas dari Ahamkara, yaitu :

 

1. Vak semesta [cikal bakal pengucapan].

2. Pani semesta [cikal bakal peraba tangan].

3. Pada semesta [cikal bakal peraba kaki].

4. Upastha semesta [cikal bakal rasa kemaluan].

5. Payu semesta [cikal bakal gerak dan dubur].

 

>>> PANCHA MAHABHUTA – lima elemen dasar yang berkembang dari aspek Tamas dari Ahamkara. Panca Mahabhuta muncul dari “pengasaran” [panchikaran] dari Panca Tanmatra, sehingga terciptalah Panca Mahabhuta, lima elemen dasar materi kasar, yaitu :

 

1. Sabda Tanmatra, mengasar atau mengkristal menjadi AKASHA [ruang].

2. Sparsa Tanmatra, mengasar atau mengkristal menjadi VAYU [udara atau gas].

3. Rupa Tanmatra, mengasar atau mengkristal menjadi TEJA [cahaya atau api].

4. Rasa Tanmatra, mengasar atau mengkristal menjadi APAH [cairan].

5. Gandha Tanmatra, mengasar atau mengkristal menjadi PRTHIVI [materi padat].

 

 

3. Hukum-hukum semesta.

 

Adanya hukum-hukum semesta seperti Hukum Rta dan Hukum Karma tidak bisa dipisahkan dari penjelasan hukum Satkaryavada dan hukum Prakriti-Parinama Vada. “Akibat” pra-eksis di dalam “sebab” dan “akibat” adalah perubahan nyata dari “sebab”.

 

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dinamika prakriti dipicu [dipengaruhi] oleh tiga intisari sifat dasar-nya [tri guna], yaitu : Sattvam, Rajas dan Tamas. Unsur Rajas yang memicu chaos [kekacauan] semesta -yang juga menjadi penyebab awal terciptanya alam semesta-, dan unsur Sattvam dan Tamas menjadi penyeimbangnya. Kestabilan-keseimbangan inilah yang merubah fenomena materi-energi Prakriti dari chaos [kekacauan semesta] menjadi cosmos [alam semesta yang tidak kacau].

 

Tri guna adalah dasar dari terciptanya hukum-hukum semesta [hukum Rta dan hukum Karma], sehingga terjadilah keteraturan dan ketidak-kacauan. Sehingga ketika kita memasak beras, kita bisa yakin kalau hasilnya nanti adalah nasi, bukan menjadi racun, bom atau handphone misalnya.

TERCIPTANYA MAHLUK

1. Pertemuan Purusha dan Prakriti.

 

Prakriti yang sudah bermanifestasi menjadi 24 asas dasar, kemudian seolah-olah “terpecah-belah” menjadi berbagai fenomena di alam materi termasuk mahluk hidup. Setiap mahluk hidup terdiri dari Purusha dan Prakriti. Purusha [realitas absolut, kesadaran murni] yang terbelenggu Prakriti menjadi penyebab adanya mahluk hidup. Dari pertemuan citta, buddhi, manas, ahamkara, panca jnana indriya dan panca karma indriya terciptalah sukhsma sarira [badan astral]. Dari pertemuan sukhsma sarira dan panca mahabhuta, terciptalah sthula sarira [badan fisik]. Inilah mahluk hidup.

 

 

 

Purusha [atman] telah terselubungi dan terbelenggu sedemikian rupa oleh berbagai produk-produk Prakriti. Akibatnya kesadaran atman merosot jatuh secara total. Jivatman terkecoh, mengira dirinya adalah pikiran [manas], ahamkara [ke-aku-an] dan sthula sarira [badan fisik] belaka. Jivatman sudah melupakan siapa dirinya yang sejati.

 

Setiap kejadian material [fisik] dan energi adalah perwujudan dari dinamika Prakriti [fenomena alam materi], termasuk yang terjadi pada setiap lapisan tubuh [kosha] kita -lapisan badan dan lapisan pikiran-. Sehingga kemudian semua evolusi [perkembangan] materi macrocosmic [alam semesta] dan microcosmic [mahluk] dipengaruhi oleh tiga sifat dasar prakriti ini. Tri guna mempengaruhi mahluk sebagai berikut :

 

1. Sattvam – kehalusan, keindahan, kebaikan, penerangan, cahaya dan kebahagiaan sejati.

2. Rajas – aktivitas / kegiatan, motifasi, dinamika dan kesengsaraan.

3. Tamas – kelambanan, kemalasan [keengganan] dan kebuntuan.

 

Walaupun sejatinya eksistensi setiap mahluk hidup sejatinya adalah Purusha [kesadaran murni] yang tidak terbatas, tidak terpikirkan dan tidak terpengaruh oleh tubuh. Tapi atman terbelenggu oleh prakriti. Eksistensi mahluk hidup atau “sang aku” mengalami pembebasan [moksha] ketika bisa “sadar” akan identitas diri yang sejati.

 

Akan tetapi selama kesadaran atman tidak muncul, maka dia akan tetap terbelenggu oleh Prakriti. Tugas ini sangatlah berat, karena jivatman sudah melewati berjuta-juta kelahiran, dimana pada periode tersebut jivatman terus-menerus melekat pada Prakriti, melekat erat pada pikiran [manas], ahamkara [ke-aku-an] dan sthula sarira [badan fisik]. Bahkan ada jivatman yang makin terperosok dan makin terbelenggu prakriti, sehingga lahir di alam ashura [alam para mahluk bawah atau bhuta kala].

 

2. Terperosoknya Jivatman.

 

Ketika kita SMA, sebagian besar dari kita mempelajari hukum seleksi alam [natural selection] dari Darwin. Hanya yang kuat dan mampu beradaptasi terhadap gejolak perubahan lingkungan yang bisa bertahan [survive]. Teori ini bisa dikatakan benar adanya.

 

Kebanyakan kehidupan adalah tentang survival terhadap eksistensi kita sebagai mahluk. Perhatikan rantai makanan : Elang memakan ular, ular memakan kodok, kodok memakan nyamuk, dst-nya. Perhatikan kehidupan manusia : persaingan berebut uang dan makanan [persaingan dagang, persaingan ekonomi, persaingan di tempat kerja], persaingan berebut pengaruh, perebutan kursi kekuasaan, eksploitasi tenaga kerja, penipuan, perampokan, korupsi, peperangan, dll. Saling menyakiti, saling membenci, saling menyalahkan, dll. Kenapa kita melakukan semua itu ? Karena kita punya suatu kebutuhan. Ini secara alami kita lakukan dalam rangka upaya kita untuk bisa survive terhadap eksistensi kita sebagai mahluk atau sebagai suatu identitas. Kita dipaksa oleh kehidupan untuk seperti itu. Alasannya macam-macam : untuk bisa makan, untuk bisa menghidupi rumah tangga, untuk bisa membiayai anak sekolah, untuk rasa aman, untuk jaminan kebahagiaan, untuk melindungi kepentingan kelompok, untuk melindungi identitas diri kita, dll.

 

Apa akibatnya ? Akibatnya hukum yang dominan dipakai [berlaku] dimana-mana adalah hukum rimba. Pemangsa dan yang dimangsa, pengeksploitasi dan yang dieksploitasi, pemanipulasi dan yang dimanipulasi, yang menyakiti dan yang disakiti. Untuk bisa survive dalam hukum rimba, kita harus punya ego yang besar. Karena itu ego kita sebagai mahluk semakin hari semakin besar dan semakin besar. Ini adalah kebutuhan alami dalam avidya [ketidaktahuan, kebodohan] yang kita perlukan untuk bisa survive terhadap eksistensi kita sebagai mahluk individu.

 

Tapi apa akibat berikutnya ? Kita terus-menerus melekat pada Prakriti, melekat erat pada pikiran [manas], ahamkara [ke-aku-an] dan sthula sarira [badan fisik]. Kita jauh dari kedamaian. Pikiran kita berubah menjadi serakah, mementingkan diri sendiri, marah, sombong, kecewa, iri hati, takut, stress, dll. Kita semakin jauh dari reakitas diri yang sejati. Kita terperosok dalam ”kubangan” Prakriti untuk jangka waktu yang sangat lama.

 

3. Moksha [pembebasan sempurna].

 

Moksha dalam bahasa sansekerta berarti : lepas atau bebas. Moksha adalah pembebasan sempurna. Jivatman berada dalam belenggu samsara diakibatkan oleh avidya [ketidaktahuan / kebodohan]. Jivatman mengalami pembebasan [moksha] ketika “sadar” akan identitas diri yang sejati. Begitu jivatman bisa lepas dari belenggu selubung prakriti, maka dia akan kembali berubah menjadi realitas absolut, kesadaran murni.

 

 

Inilah landasan dasar dari mengapa para Maharsi pendahulu dan para Dewa-Dewi mengajarkan dharma dan berbagai jalan yoga. Yaitu untuk membimbing manusia bebas dari belenggu Prakriti, yaitu belenggu pikiran [manas], ahamkara [ke-aku-an] dan sthula sarira [badan fisik]. Semakin cepat semakin baik, sebelum kita terperosok semakin jauh lahir menjadi binatang atau lahir di alam ashura [alam para mahluk bawah atau bhuta kala] yang penuh dengan kesengsaraan.

 

Tugas hidup kita yang sesungguhnya adalah melampaui pengaruh Prakriti. Bebas dari belenggu pikiran [manas], ahamkara [ke-aku-an] dan sthula sarira [badan fisik]. Atman Brahman Aikyam, Atman adalah Brahman. Laksana setetes air dalam samudera maha luas yang tersadar bahwa realitas dirinya bukanlah setetes air [mahluk individu], melainkan samudera yang maha luas.

 

 

Rumah Dharma – Hindu Indonesia

Shivaratri – Jalan Pendakian Menuju Pembebasan

Shivaratri – Jalan Pendakian Menuju Pembebasan

oleh Rumah Dharma – Hindu Indonesia pada 04 Januari 2011 jam 19:53

Teks sansekerta yang memuat uraian tentang Shivaratri adalah Padma Purana. Teks ini kemudian diadaptasi ke dalam lontar Siwaratri Kalpa [Kekawin Lubdaka] oleh Mpu Tanakung, seorang Mpu dari Jawa Timur di Abad ke-15 M. Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang pemburu yang penuh dosa bernama  Lubdaka, yang karena melaksanakan Tapa Brata Siwaratri, akhirnya bertemu Betara Siwa dan mendapat anugerah pembebasan [moksha].

 

 

Shivaratri jatuh pada purwani tilem kapitu, malam paling gelap. Malam gelap merupakan simbolik sad ripu [kegelapan bathin]. Shiva adalah pemralina atau pelebur, Ratri berarti malam atau kegelapan. Shivaratri berarti malam peleburan kegelapan bathin [sad ripu]. Shivaratri adalah malam pelatihan bathin dari kegelapan menuju penerangan. Karena itu pada setiap hari Shivaratri, dilaksanakan Tapa Brata Shivaratri, yaitu upavasa [puasa makan-minum], mona brata [puasa bicara] dan jagra [sadar atau tidak tidur]. Dengan membebaskan diri dari sad ripu, kita bisa mengikuti tapa yoga Dewa Shiva dan memperoleh berkah pembebasan dari beliau.

 

LUBDAKA PENUH DOSA [DALAM KEGELAPAN BATHIN PEKAT]

 

Banyak orang terjebak, seolah-olah hanya karma baik yang bisa menjadi sumber kesucian bathin. Hal itu tidak sepenuhnya benar. Karma baik bisa menjadi awal bathin yang gelap, kalau kita merasa baik lalu kita jadi sombong. Merasa diri suci, lalu orang lain kita sebut kotor. Merasa diri benar, orang yang berbeda kita sebut salah atau sesat. Tidak semua karma buruk itu berakhir pada kegelapan bathin. Dia sebaliknya bisa menjadi sumber kesucian bathin, bila :

 

1. Kita sadar dan bertobat.

2. Kekurangan-kekurangan kita, rasa bersalah kita, kita gunakan sebagai janji untuk berlatih lebih keras.

 

Kebaikan bisa jadi sumber kesucian bathin, itu sudah jelas, tapi keburukan juga bisa. Kebanyakan yogi yang perjalanannya jauh, umumnya memang punya karma baik yang dominan. Tapi bila kita punya kekurangan masa lalu, lebih-lebih kekurangannya parah sekali, belajarlah dari kisah Lubdaka. Melalui keteguhan hati melaksanakan Tapa Brata Shivaratri, seseorang bisa bertemu kesucian. Walaupun memang, kalau karma buruk kita lebih dominan tentu saja perjalanan kita akan lebih berat.

 

TAPA BRATA SHIVARATRI

 

Tapa Brata Shivaratri dilaksanakan dengan tiga hal, yaitu :

 

1. Upavasa [puasa makan-minum]

 

Kata puasa berasal dari bahasa sansekerta “upavasa”, yang terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi puasa. “Upa” berarti dekat dan ”vasa” [wasa] berarti yang maha agung. Secara lengkap, upavasa berarti mendekatkan diri kepada maha kesadaran agung.

 

Upavasa sama sekali tidak terletak pada siksaan atau penderitaan yang harus dialami dengan tidak makan atau minum. Tujuan upavasa adalah mengendalikan badan [indriya] dan pikiran dari obyek-obyek luar. Karena dari obyek-obyek luar yang direspon oleh badan [indriya] dan pikiran, munculah sad ripu [enam kegelapan bathin]. Dari sad ripu munculah tindakan. Tindakan akan melahirkan pengalaman. Dan pengalaman-pengalaman buruk dalam hidup akan dimulai dari sad ripu yang tidak terkendali.

 

Catatan : dalam upavasa, tidak ada dikenal istilah batal puasa. Ketika tubuh kita tidak mampu lagi menahan lapar atau haus, silahkan makan-minum, tidak apa-apa. Yang penting pikiran dan indriya kita tetap dikendalikan dengan baik. Paling tidak [minimal] agar tidak memiliki pikiran negatif terhadap obyek luar apapun, selalu berpikir positif.

 

2. Mona Brata [puasa bicara].

Mona Brata berarti tidak bicara atau diam. Puasa yang lebih sempurna dari tidak makan-minum adalah ditambah dengan diam. Tidak saja mulut [badan] yang puasa, tapi pikiran juga puasa. Dengan diam lebih mungkin pikiran kita melakukan puasa. Tidak memikirkan hal ini dan hal itu, tidak memperdebatkan hal ini dan itu, tidak menghakimi hal ini dan itu.

 

Ketika pikiran dan perasaan kita sedang diganggu oleh kemarahan, ketersinggungan, iri hati dan segala bentuk sad ripu lainnya, segeralah diam. Hampir semua kecelakaan dalam hidup [berkelahi, bertengkar, dll] karena kita berbicara saat emosi kita terganggu. Sehingga begitu pikiran dan perasaan kita ada gangguan, jangankan besar, kecil saja cepatlah diam, karena diam sangat menyelamatkan. Menyelamatkan diri kita sendiri dan menyelamatkan orang lain.

 

Dalam cerita tetua Jawa juga ada kisah kura-kura yang karena kemarau panjang lalu pindah [migrasi] dibantu burung. Kura-kura menggigit kayu diterbangkan dua burung. Melihat fenomena langka seperti ini, sejumlah anak-anak berteriak gembira : “hai burung, betapa cerdasnya ide kalian !”. Seketika saja kura-kura menjawab : “ini bukan ide burung, tapi ideku !”. Dan jatuhlah sang kura-kura dari langit, mati dengan badan berantakan. Ini kisah untuk mengingatkan kita agar hati-hati dengan ego. Berbicara atas nama ego memiliki resiko demikian besar.

 

Karena itu ada sumpah para yogi pertapa, begitu dalam pikiran saya ada setitik noda, saya bersumpah akan diam seperti sebatang pohon. Lihatlah pohon, ditendang dia diam, dipotong dahannya dia diam, bahkan ditebangpun dia diam. Itulah sumpah para yogi tingkat tinggi, orang suci.

 

Catatan : Apakah ada hubungan upavasa dengan yoga ? Ada. Terutama bagi mereka yang bathinnya masih memerlukan banyak pembersihan. Ketika kita menghabiskan satu hari dalam pengendalian indriya dan dalam diam [pengendalian pikiran], kehidupan akan berputar tanpa keinginan kita. Dengan bathin yang telah bersih, tentu kita akan lebih mudah fokus pada hakikat kesadaran diri. Inilah yang disebut upavasa [mendekatkan diri kepada maha kesadaran agung]. Karena kesadaran akan mengundang datangnya kesadaran.

 

3. Jagra [sadar].

Jagra berarti sadar. Umumnya dalam pelaksanaan Shivaratri dimaknakan sebagai tidak tidur semalam suntuk sambil meditasi, mulat sarira [introspeksi diri] ataupun aktifitas lain seperti memusatkan diri pada Dewa Shiva. Akan tetapi sadar yang dimaksud dalam kisah Lubdaka tidak semata sebatas sadar tidak tidur. Lebih jauh lagi, ia juga mengandung arti selalu sadar [tidak tidur] kepada segala bentuk kegelapan bathin [sad ripu].

 

Ketika Lubdaka berada diatas pohon, untuk mencegah rasa kantuknya ia memetik daun bila helai demi helai lalu menjatuhkannya ke bawah, tanpa memikirkan masa lalu dan masa depan. Ini memberi makna pentingnya kita untuk selalu sadar di moment saat ini. Sebagian besar penglihatan, pemahaman dan persepsi kita sebenarnya diproduksi oleh pikiran. Apa yang kita sebut dengan bahagia dan sedih sebenarnya tidak lebih dari sekadar produk pikiran. Sehingga titik berangkat dari evolusi bathin adalah sadar dan waspada [tidak pernah tidur] pada setiap gerak-gerik sad ripu pada momen di saat ini. Karena siapa saja yang tekun berlatih menerangi bathin dengan kesadaran, menjauhkan hidup dari sad ripu, hidupnya menjadi sejuk dan damai. Sekaligus bergerak mendekat dengan realitas diri yang sejati.

 

Perhatikan hidup ini. Seringkali kita baru baru sadar bahayanya judi setelah banyak harta habis. Kita baru sadar betapa bahagianya hidup jujur setelah kita masuk penjara karena korupsi. Kita baru sadar celakanya selingkuh setelah pasangan hidup menuntut cerai, dll. Berbagai godaan kehidupan ini seringkali menipu dan meninabobokan kita. Inilah yang disebut orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan tidur. Banyak diantara kita yang lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak dan akhirnya meninggal dalam keadaan tidur. Tanpa pernah tahu dan menemukan siapa realitas dirinya yang sejati.

 

Titik tolak dari evolusi bathin bisa bermula dari mengelola kesadaran. Kesadaran bukan saja akan menyelamatkan kita dari banyak badai kehidupan, tapi sekaligus membimbing kita kepada realitas diri yang sejati. Sayangnya kesadaran bukanlah suatu hal stabil yang mudah dikelola. Sebab kita sudah melewati jangka kehidupan yang demikian lama dengan segala pengaruhnya kepada bathin kita. Disinilah diperlukan kesabaran. Kesabaran bukan saja sumber kedamaian, tapi juga sumber kejernihan dan keheningan. Seperti Lubdaka yang dengan sangat sabar semalam suntuk memetik daun bila, tanpa memikirkan masa lalu dan masa depan. Kekeruhan pikiran mudah sekali muncul dalam kualitas bathin yang tidak sabar, seperti misalnya marah yang merupakan salah satu hasil dari ketidaksabaran. Tekunlah berlatih kesadaran, jangan pernah tidur, sampai tidak ada lagi sad ripu yang tersisa, yang ada hanya kesadaran agung [Parama Shiva], semuanya terang benderang.

 

DEWA SHIVA

 

 

Bagi sebagian besar orang yang mempelajari dharma dengan intelek, Dewa Shiva adalah dewa yang dihormati dan dipuja. Tapi bagi para praktisi Tantra, Shiva Sidhanta dan beberapa ajaran tingkat menengah keatas lainnya, Dewa Shiva bukan hanya sebatas pengetahuan intelek, tapi beliau sering hadir langsung untuk memberikan berbagai bimbingan dan berkah spiritual. Deva Shiva adalah maha kesadaran kosmik yang penuh welas asih dan selalu membimbing manusia untuk menuju pembebasan. Bertemu dengan Dewa Shiva adalah sebuah pengalaman langsung [pratyaksa pramana, anubhavam], tidak hanya sebatas pengetahuan.

 

Sebagian besar dari kita umumnya berkah dharma-nya [sesuai putaran karma masing-masing] adalah sebagai orang biasa dan bukan praktisi ajaran tingkat menengah keatas. Tapi dengan memusatkan pikiran kita kepada beliau, kita juga bisa mendapatkan berkah bimbingan Dewa Shiva guna membersihkan bathin kita dari berbagai kegelapan bathin [sad ripu].

 

Om Namah Shivaya.

Selamat melaksanakan Tapa Brata Shivaratri – 3 January 2011.

 

Rumah Dharma – Hindu Indonesia

Ahimsa Paramo Dharmah : Pelaksanaan Dharma Yang Paling Mendasar

Ahimsa Paramo Dharmah : Pelaksanaan Dharma Yang Paling Mendasar

oleh Rumah Dharma – Hindu Indonesia pada 26 Desember 2010 jam 23:11

Kutipan dari Vana Parva :

 

अहिंसा सत्यवचनं सर्वभूतहितं परम

अहिंसा परमॊ धर्मः स च सत्ये परतिष्ठितः

सत्ये कृत्वा परतिष्ठां तु परवर्तन्ते परवृत्तयः

 

ahimsā satyavacanam sarvabhūtahitam param

ahimsā paramo dharmah sa ca satye pratisthitah

satye krtvā pratisthām tu pravartante pravrttayah

 

Mereka yang bathinnya mulia tidak menyakiti dan penuh kebaikan kepada semua mahluk.

Ahimsa [tidak menyakiti] adalah dharma yang tertinggi, mereka tidak pernah menyakiti dalam perbuatan, perkataan dan pikiran.

Mereka sepenuhnya sadar kepada sebab dan akibat dari perbuatan [hukum karma], menuju evolusi bathin.

PENJELASAN

 

Ajaran dharma yang paling mendasar adalah tumbuhkan sifat penuh welas asih dan banyak-banyak berbuat baik, tapi kalau tidak bisa cukup jangan menyakiti. Sehingga tidak menyakiti adalah bentuk dasar dharma yang paling mendasar. Karena itulah dikatakan “Ahimsa Paramo Dharmah”, tidak menyakiti adalah salah satu bentuk dharma yang tertinggi.

 

Tidak menyakiti sangatlah penting. Baik melalui perbuatan, perkataan dan bahkan melalui pikiran [artinya ketika ada moment kita berpikiran tidak baik, kita harus cepat-cepat melupakannya]. Inilah refleksi paling mendasar dari Tri Kaya Parisudha. Rasa takut, resah, gelisah, marah, iri hati, semuanya muncul dari ahamkara [ke-aku-an], dari perilaku cenderung mementingkan diri sendiri. Dengan mengembangkan sikap tidak menyakiti, apalagi kemudian bisa menumbuhkannya menjadi sifat penuh welas asih dan kebaikan, bathin kita akan lebih terbuka dan jernih. Dari sana bisa muncul sifat yang sabar, penuh kerelaan, jujur, tulus dan damai dalam bathin kita.

 

Kemarahan, iri hati dan sifat-sifat sad ripu lainnya sudah pasti menyebabkan bathin kita sengsara. Sehingga kembali ke ajaran dharma yang paling mendasar, tumbuhkan sifat penuh welas asih dan banyak-banyak berbuat baik, tapi kalau tidak bisa cukup jangan menyakiti. Karena hal itulah pondasi paling mendasar untuk membersihkan bathin dari sad ripu, menuju realisasi manah shanti, kedamaian bathin yang sejati.

 

Ketika kita membicarakan manah shanti, seyogyanya kita tidak salah memahaminya dengan sifat apatis yang tidak pedulian. Manah shanti bukanlah bathin yang datar atau hampa. Manah shanti adalah kondisi bathin damai dan tenang yang berakar-mula dari welas asih, kebaikan dan kepedulian kepada ketidak-bahagiaan mahluk lain.

 

Kehidupan tanpa menyakiti [ahimsa] bukanlah satu pilihan hidup bagi orang yang berhati lemah, melainkan bagi para pemberani. Kalau bisa damai, sejuk dan tidak menyakiti saat dipuji dan dihormati itu anak TK juga bisa melakukannya. Tapi kalau bisa tetap damai, sejuk dan tidak menyakiti saat dicerca dan dilecehkan, itulah mereka yang memiliki bathin dewa [daiwa sampad], bathinnya sekuat batu karang dan sejernih mata air.

 

Rumah Dharma – Hindu Indonesia