Monthly Archives: November 2010

Bhakti Raghava Swami

Bhakti Raghava Swami

 

Bhakti Raghava Swami

nama om vishnu-padayakrishna-preshthaya bhu-taleshrimate bhakti raghava swami iti namine

namaste gaura sevayam sada nivedit atmaneyuvadou prabupadardam varnasrama pracharine

 

Terlahir di Ontario, Kanada pada tahun 1946 dengan menyandang nama kecil Real L. J. Gagnon. Beliau adalah salah satu jajaran guru kerohanian Veda dalam garis perguruan (parampara) Brahma Gaudya Vaisnava.

Latar belakang pendidikan Katolik yang beliau dapat dari keluarga dan lingkungannya mengantarkan beliau untuk memperdalam ilmu teologi pada sebuah Seminari disamping juga sebelumnya aktif dalam komunitas bela diri Karate. Oleh komunitas Katoliknya, beliau diharapkan akan menjadi seorang Pastur. Namun setelah berkenalan secara tidak sengaja dengan seorang penganut Veda menyebabkan beliau semakin terpancing untuk bersentuhan dan menggali ajaran Veda secara lebih mendalam. Akhirnya pada tahun 1974 beliau secara resmi menjadi penganut Hindu di bawah naungan International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “Hare Krishna”. Pada tahun 1976 sampai tahun 1992 Maharaj Bhakti Raghava Swami menetap di India untuk semakin memantapkan dan memperdalam pemahaman ajaran Veda-nya.

Wujud kegigihan dan penyerahan dirinya yang tulus dalam memperjuangkan nilai-nilai Dharma salah satunya dibuktikan pada saat beliau berusaha mempertahankan arca Radha-Krishna dari serangan para perampok bersenjata lengkap di sebuah mandir di India. Meskipun tanpa senjata, Maharaj Bhakti Raghava langsung masuk ke ruang arca dan menyelamatkan arca tersebut dari rebutan para penjahat. Naas bagi beliau saat penjahat tersebut melempar geranat. Meski cidera berat dan harus kehilangan satu kaki karena harus diamputasi, namun beliau tidak pernah menyesali kejadian tersebut. Bahkan beliau memandang kejadian tersebut sebagai sebuah karunia khusus dari Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna yang bisa menghantarkan beliau menjadi seorang guru kerohanian yang bona fide.

Melanjutkan misi Srila Prabhupada, beliau ditugaskan untuk melanjutkan program Varnasrama yang bertujuan membangun peradaban manusia yang sesuai dengan ajaran Veda. Yaitu berdasarkan prinsip-prinsip catur varna yang benar, bukan berdasarkan prinsip catur kasta yang sama sekali sudah sangat menyimpang dari apa yang disampaikan dalam Veda. Bertindak sebagai pemimpin gerakan Varnasrama, sampai saat ini beliau sudah memprakarsai beberapa proyek percontohan dan seminar Varnasrama di berbagai Negara. Mulai dari India, Kamboja, Kanada, Skotlandia, Amerika sampai pada Indonesia. Pada tanggal 31 Juli dan 1 Agustus ini beliau juga akan mengisi seminar Varnasrama di Ahram Sri Gauranga Sankirtana, Jln. Tukad Balian No.108, Renon, Denpasar. Bagi anda yang berminat menghadiri acara ini, dipersilahkan datang dan mengikuti seminar secara free.

Pada tahun 2003, Maharaj Bhakti Raghava menetap di Yogyakarta, Indonesia. Beliau menyadari bahwa Yogyakarta adalah salah satu kota pendidikan terpenting di Indonesia. Untuk mengimbangi pendidikan material yang diperoleh oleh siswa dan mahasiswa dengan pendidikan rohani, beliau membangun sebuah Ashram yang saat ini dikenal dengan sebutan Narayana Smrti Ashram. Dibantu oleh Bapak Budi Raharjo, Bapak Suryanto dan Wawan Julianto, sampai saat ini Narayana Smrti Ashram sudah menelorkan beberapa alumni yang juga merupakan alumni perguruan-perguruan tinggi favorit di Yogyakarta. Beberapa alumni tersebut antara lain adalah: Gusti Ngurah Agus Hari Narayana (Acyuta Krishna Dasa), yang saat ini mengabdi di Pemda Klungkung, Ni Putu Eka Marliana (Visaka Devi Dasi) yang menjadi PNS di STAH (Sekolah Tinggi Agama Hindu) Tampu Penyang Palangkaraya, Jumiati (Candravali Devi Dasi) yang menjadi pengusaha dalam bidang Tenaga Kerja di Jakarta, Suryanto, M.Pd (Suryalocana Dasa) yang merupakan alumnus sekaligus pengurus dan saat ini menjadi Dosen tetap di STAH Tampu Penyang, Palangkaraya, Made Purna Ananda (Pralada Ananda Dasa) yang saat ini bekerja di Bank Sinar di Bali, Ketut Saci Dewi (Saci Mata Devi Dasi) menjadi Bidan di Jakarta, Komang Astuti (Radhe Siromani Devi Dasi) menjadi Wirausaha dan ibu rumah tangga di Bali, I Gede Swardana (Garuda Dasa) sedang menjalani program doktoral di UGM dan juga merintis Wirausaha, Kadek Dendi Partha (Dhanur Dhana Dasa) menjadi seorang programmer, Wawan Yulianto, S.Ag (Virabhadra Dasa) meniti karis sebagai PNS di Departemen Agama Pusat, Jakarta, I Nyoman Kusuma Wardhana yang sedang program S2 dan S3 di Italia dan beberapa alumni lain yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

Maharaj Bhakti Raghava sendiri selama tinggal di Narayana Smrti menempuh program S2 di UNY dan menelurkan sebuah thesis yang sangat erat kaitannya dengan misi Varnasrama, yaitu tentang perbandingan sistem pendidikan Gurukula di Hindu dengan sistem pendidikan Pesantren di Indonesia. Menurut beliau, sistem pendidikan Pesantren ternyata merupakan adopsi dari sistem pendidikan Gurukula Hindu. Namun sayang sistem pendidikan Gurukula yang adiluhur tersebut terlupakan oleh penganut Hindu di Indonesia khususnya.

Disamping membangun Narayana Smrti Ashram, Maharaj Bhakti Raghava juga membangun beberapa ashram di beberapa daerah di Indonesia. 2 proyek beliau yang cukup besar ada di Lampung dan di Kalimantan. Disana beliau membangun percontohan perkampungan Veda dengan sistem Varnasrama dan eco village-nya. Perkampungan yang terletak di kabupaten Tulang Bawang di Lampung bernama Gita Nagari Baru atau biasa disingkat GNB dan di Kalimantan disebut Gita Sagari Baru (GSB). Sampai saat ini kedua perkampungan tersebut sudah berkembang dengan pesat. Bahkan di GNB sudah dibangun sebuah sekolah SD yang berasaskan pada Veda. Jika dilihat dari proyek-proyek yang dikembangkan pemerintah terhadap Hindu, mungkin dapat dikatakan proyek swadaya ini jauh lebih sukses.

Meskipun secara fisik Maharaj Bhakti Rahagava sudah tidak normal lagi, namun beliau masih tetap bisa mengemban tugas guru beliau dan melaksanakan serta menyebarkan ajaran Veda dengan sempurna. Semoga semangat tersebut dapat mengalir dalam diri kita sebagai generasi muda Hindu untuk selalu belajar dan mengemban prinsip-prinsip Veda dimanapun dan dalam kondisi apapun.

Sujud hormat hamba kepada Guru Maharaj Bhakti Raghava, guru kerohanian hamba yang tercinta yang telah memberikan penerangan pada diri hamba yang gelap gulita ini.

 

My Pranam to you Guru Maharaj

Tuhan,nama-Mu siapa?

Tuhan, nama-Mu siapa?

 

 

Hidup di masyarakat yang heterogen sangatlah menyenangkan. Memiliki  banyak sahabat dari berbagai suku, ras, agama dan golongan memberikan nilai tersendiri pada masing-masing pribadi. Namun harus disadari bahwa tabiat masing-masing pribadi sangatlah berbeda-beda. Sikap dan kejiwaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi dimana seseorang dilahirkan, dibesarkan dan dasar keyakinan yang ditanamkan pada dirinya.

Membicarakan masalah keyakinan kadangkala menjadi suatu yang imajiner, yang sangat irasional dan hanya karena masalah keyakinan seseorang dapat melakukan apa saja diluar akal sehat manusia. Kasus-kasus bom bunuh diri dan perang atas nama Tuhan sudah mengorbankan jutaan nyawa dalam sejarah kehidupan manusia.

Sebagai golongan minoritas sering kali saya disuguhi pertanyaan yang sangat menggelitik tetapi juga menarik untuk di bahas. Salah satunya adalah masalah “siapa Tuhanmu?”. Seorang teman kuliah pernah berkata kepada saya; “Kalau Tuhanku kan Allah, Tuhan orang kristen Yesus, Alah Bapa dan Roh Kudus, sementara Tuhan kamu siapa? Terus Dewa favorit kamu yang mana yan?”

Ternyata Tuhan yang selama ini saya pahami sebagai Yang Esa dan Tuhan semua mahluk hidup di alam semesta ini tidak sama dengan Tuhan yang dibayangkan oleh teman saya itu. Apa benar Tuhan kita berbeda-beda?

Menurut Karen Amstrong dalam bukunya “A History of God”  menyatakan bahwa asal-usul masing-masing Tuhan dalam agama Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam) berbeda-beda. Yahweh berasal dan ajudan dewa perang, yang kemungkinan berasal dari suku Midian, dan dijadikan satu-satunya Tuhan orang Israel oleh Musa. Jesus salah seorang dari Trinitas, adalah seorang pembaharu agama Yahudi yang diangkat menjadi Tuhan oleh para pendiri Kristen awal. Allah adalah dewa hujan yang setelah digabung dengan dewa-dewa lain orang Arab dijadikan satu-satunya tuhan orang Islam oleh Muhammad.

Karakter masing-masing Tuhan agama Abrahamik tersebut sangat berbeda. Ketiganya memang Tuhan pencemburu, tetapi tingkat cemburu mereka berbeda. Yahweh adalah Tuhan yang paling pencemburu, gampang marah, dan suka menghukum pengikutnya dengan kejam, tetapi juga suka ikut berperang bersama pengikutnya melawan orang-orang lain, seperti orang Mesir, Philistin dan Canaan. Jesus juga Tuhan pencemburu, tapi berpribadi lembut, ia memiliki banyak rasa kasih, tetapi juga mempunyai neraka yang kejam bagi orang-orang yang tidak percaya padanya. Allah lebih dekat karakternya dengan Yahweh, tetapi bila Yahweh tidak memiliki neraka yang kejam, Allah memilikinya. Di samping itu, bila Yahweh menganggap orang-orang Yahudi sebagai bangsa pilihannya, Allah menganggap orang-orang Yahudi adalah musuh yang paling dibencinya.

Apakah pernyataan Karen Amstrong mengenai Tuhan penganut agama Abrahamik adalah berbeda sebagaimana disebutkan dalam bukunya tersebut? Mari kita coba analisis dari masalah wahyu yang diturunkan kepada ketiga agama ini. Agama Yahudi adalah agama yang paling tua dari ke-3 rumpun agama ini, kitab suci-nya adalah Taurat / Torah. Namun demikian sebagaimana pernyataan Yesus dalam di Matius 5:17. Dikatakan: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya“. Ayat ini menegaskan bahwa Ajaran Kristen diwahyukan kembali untuk melengkapi ajaran yang sebelumnya yang kurang sempurna. Demikian juga Islam lewat Q.S. Al Maidah ayat 3 mengatakan “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”. Ayat ini mengklaim bahwa agama Islam adalah ajaran yang menyempurnakan ajaran-ajaran agama-agama sebelumnya (Yahudi dan Kristen).

Jika memang Tuhan ke-3 agama ini berbeda, sepertinya masalah ini dapat dimengerti karena satu Tuhan mengoreksi Tuhan yang lainnya. Namun jika kita kembali lagi ke titik pangkal Agama dimana setiap umat agama memuja Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Adil dan berbagai sebutan Tuhan dengan kemahakuasaannya, apakah mungkin posisi “maha/paling” disini dikuasai oleh lebih dari satu entitas (Tuhan)? Tentunya harus ada satu yang laing berkuasa, yang paling sempurna, yang paling adil dan sebagainya.

Namun jika kita mengatakan bahwa Tuhan dalam ajaran Abrahamik ini sejatinya hanya ada satu, maka permasalahannya adalah pada model pewahyuan/penurunan ajaran-ajarannya. Kenapa Tuhan menurunkan ajarannya dalam kondisi tidak sempurna sehingga harus diperbaiki, ditambahkan dan disempurnakan sebagaimana kasus Taurat/Torah yang digenapi dengan kehadiran Yesus dan berikutnya disempurnakan lagi dengan kehadiran Nabi Muhammad? Bukankah Tuhan Maha Tahu dan Maha Sempurna? Kenapa Beliau Yang Maha Sempurna dapat menurunkan kitab suci yang tidak sempurna?

Mungkin permasalahan inilah yang menyebabkan kenapa beberapa teman saya menanyakan pada saya prihal siapa Tuhan saya. Kalau memang benar demikian adanya, saya sebagai pengikut Veda yang berada di luar komunitas agama-agama Abrahamik tentunya dapat memahami pola pikir mereka.

Tapi sebelum kita menyimpulakan bahwa Tuhan itu memang banyak dan mengatakan bahwa masing-masing agama punya Tuhan yang berbeda, mari kita coba untuk menggunakan akal sehat kita terlebih dahulu untuk bertanya pada Tuhan, siapa nama Tuhan yang sebenarnya.

Sekarang kita coba tatap langit dan lihatlah benda yang berpijar dan memberikan penerangan terhadap bumi, yang menyebabkan adanya siang dan malam. Apa nama benda langit tersebut?

Kita sebagai orang Indonesia akan menyebutnya “Matahari”. Bangsa yang menggunakan bahasa Inggris akan menyebutnya “Sun”. Orang Bali menyebutnya sebagai Surya / Matanai. Orang Tengger menyebutnya “Srengenge” dan orang Sunda menyebutnya “Baskara”, kalangan ilmiah kadang menyebutkannya dengan istilah “Solar”. Apakah salah kalau kita menyebutkaan benda langit yang menyebabkan siang dan malam itu sebagai Sun, Surya, Matahari dan sebagainya? Tidak kan?

Demikian juga halnya dengan Sang Pencipta, Penguasa Alam Raya ini yang terkadang disebut “God atau Lord” oleh bangsa yang bertutur kata dengan bahasa inggris, disebut “Gusti” oleh orang Jawa, disebut Tuhan dalam bahasa Indonesia, Allah dalam bahasa Arab, Hyang Widdhi dalam bahasa Sansekerta, dan sebagainya. Salahkan orang yang menyebut Sang Pencipta dengan nama yang sesuai dengan bahasa yang digunakan di daerahnya?

Jika kita mau jujur, sebenarnya cara kita menyebut Sang Maha Pencipta adalah dengan menggunakan sifat-sifat dari beliau. Dalam Islam dikenal istilah Asmaaa-ul-husnaa, yaitu 100 nama suci Tuhan (1 nama belum diketahui) berdasarkan sifat-sifatnya. Menurut Akif Manaf Jabir, Ph.D (1997), Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa ada 99 nama Tuhan yang apabila seseorang melafalkan kesemua nama itu, maka ia akan masuk surga. Itulah sebabnya, biji tasbih yang digunakan oleh umat Islam untuk berzikir jumlahnya 99, mengikuti jumlah nama Allah itu.

Nama yang pertama adalah “Allah” yang berarti “that which there is no otheratau “hanya satu tiada duanya”. Nama inilah yang paling menonjol di antara nama-nama lainnya, sehingga lahirlah “Lailahaillalah”, atau “tiada Tuhan selain Allah.” Allah memiliki nama lain Al-Alim yaitu “Beliau Yang Maha Tahu”,Al-Kudus “Beliau Yang Maha Suci, Al-Rahman “Maha Pengasih”, Al-Rahim “Maha penyayang”, Al-Awwal,  Al-Akhir,  Al-Sabr  “Yang Paling Sabar” dan lain-lain.

Tentunya ke 99 nama Tuhan diatas dalam bahasa Arab, nah bagaimana halnya jika kita menyebutkan nama Tuhan dalam bahasa Veda, bahasa Sansekerta? Dalam Veda dikenal istilah “Visnusahasranama” yaitu 1000 nama suci Tuhan yang sesui dengan sifat-sifatnya yaitu antara lain Hyang Widdhi (Vidhi) “Yang Maha Tahu”, Krishna “Yang Maha Menarik”,  Acintya “Yang Tidak Terpikirkan”, maadhavo, Visnu “Beliau yang ada dalam segala sesuatu”, Narayana, Govinda, dan sebagainya.

Terus bagaimana halnya dengan penyebutan Tuhan dalam bahasa yang lain? Tentu ada banyak sebutan unik yang tidak terhingga banyaknya sesuai dengan bahasa yang digunakan kan?

Jika dengan analogi diatas menyatakan bahwa Tuhan setiap orang sebenarnya hanya satu, lalu mengapa sebagian orang Islam masih tetap ngotot pada pendirian bahwa “orang yang tidak menyebut Tuhan dengan nama ‘Allah’ berarti kafir”? Mengapa mereka beranggapan bahwa tiada kebenaran lain dalam agama selain Islam? Jawabannya, semua itu dipengaruhi oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan dalam konteks situasi yang dihadapi oleh Nabi Muhammad. Pada masa itu, sebagian ayat-ayat seperti itu memang sesuai dengan keadaan jaman jahilliyah. Kalau kemudian ayat-ayat itu ditafsirkan apa adanya, tanpa memandang konteks situasi jaman yang sudah berubah, yang terjadi adalah sebuah kekonyolan semata.

Referensi;

1. Steven Rosen. The Hidden Glory of India, Bhaktivedanta Book Trust, Hongkon, 2002

2. Stephen Knapp. Vedic Prophecies, 2004

3. Karen Amstorng, The history of God

Jiva tattva, Siva tattva dan Visnu tattva

Jiva tattva, Siva tattva dan Visnu tattva

 

Jiva tattva, Siva tattva dan Visnu tattva

Pernahkah anda berpikir kenapa anda terlahir dan ditakdirkan menjadi mahluk hidup, dalam hal ini manusia sementara di sisi lain harus ada satu entitas agung yang dipuja sebagai Tuhan dan menguasai segala sesuatu? Kenapa sekali-kali tidak dibalik saja agar kita bisa bertindak sebagai Tuhan dan Dia yang sebagai Tuhan saat ini menjadi mahluk hidup? Inilah yang merupakan kodrad, sifat dasar (dharma) yang tidak bisa di switch sesuka hati kita. Sama halnya seperti api yang dharmanya adalah panas, es yang dharmanya adalah dingin dan cahaya yang dharmanya adalah menerangi. Api tidak bisa dirubah menjadi memiliki sifat dingin, es tidak bisa dirubah menjadi bersifat panas dan begitu juga cahaya tidak bisa dirubah menjadi pembawa kegelapan. Kita sebagai Jiva memiliki dharma yang sejati sebagai pelayan Tuhan. Sehingga dikatakan karena salah menggunakan kebebasan terbatas, menyebabkan sang Jiva jatuh kedunia fana dan menderita. Ketika sang Jiva bersifat iccha, ingin menikmati sendiri tanpa bergantung kepada Tuhan. Ia dvesa, tidak suka melayani Tuhan di dunia rohani. Maka ia sarge yanti, di tempatkan di dunia material agar bisa secara palsu merealisir cita-citanya menikmati dan berbahagia sendiri (Bg.7.27). Ia na bhajante, tidak mau mengabdi kepada Tuhan dan avajananti, tidak senang kepada-Nya, dan ingin hidup terpisah dari-Nya. Maka sthanad bhrastah patanti adhah, ia jatuh dari ke dudukannya sebagai pelayan Tuhan di dunia Rohani dan terus masuk ke dunia material (Bhag.11.5 .3). Sementara Tuhan berbeda dengan kita sebagai Jiva. Dikatakan; “ajo ‘pi sann avyayatma bhutanam isvaro pi san prakrtim svam adhistaya sambhavami atma mayaya, Walaupun Aku tidak dilahirkan dan badan rohani-Ku tidak pernah me- rosot, dan walaupun Aku Penguasa semua makhluk hidup, Aku masih muncul pada setiap jaman dalam bentuk rohani-Ku yang asli” (Bg.4.6). Jadi dari sini dapat kita lihat bahwa mahluk hidup sebagai jiva dan Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan adalah sangat berbeda.

Adanya perbedaan dasar inilah yang dimaksudkan dengan tiga istilah sebagaimana judul artikel ini. Terdapat istilah Jiva-tattva, yaitu istilah yang digunakan untuk menyebutkan para pelayan kekal dari Tuhan, yaitu kita sebagai sang jiva/roh, perbanyakan kecil berbeda dan terpisah (vibhinamsa) dan merupakan tenaga marginal (tatastha sakti) Tuhan sebab ia bisa berada di tingkat material atau pun spiritual. Sementara itu Tuhan sebagai penguasa segala sesuatu dan juga exspansi rohani-Nya (svamsa) disebut sebagai Visnu-tattva. Lalu siapa yang disebut sebagai Siva-tattva? Siva-tattva dalah perwujudan dewa Siva dengan berbagai macam ekspansinya. Siva tidak bisa dikatakan sebagai Jiva-tattva dan tidak pula bisa dikatakan sebagai Visnu-tattva, melainkan dia ada diantara kedua itu.

Dalam Brahma Samhita 5.53 dewa Brahma sendiri berkata; “Brahmadi kita pagava dhayas ca jévah, mulai dari diri saya (Brahma) yang berkedudukan paling tinggi menurun sampai si serangga kecil dan hina, semuanya adalah para Jiva. Veda juga mengatakan; “Sva-dharma nistah sata janmabhih puman virincatam eti”, jika seseorang melakukan tugas kewajibannya (dalam lembaga varnasrama) secara amat sempurna selama 100 kali penjelmaan, maka dia berkualifikasi menduduki jabatan Brahma (Bhag. 4.24.29). Brahma Samhita 5.27 juga kembali menegaskan bahwa Brahma mampu melaksanakan tugasnya mencipta setelah melaksanakan pertapaan keras selama 1.000 tahun dewa dan menerima pengetahuan Veda dari Sri Visnu (Krishna) melalui suara seruling Beliau yang masuk ke telinganya. menyatakan Dalam kedudukannya sebagai pencipta alam material, Brahma mengibaratkan dirinya seperti permata surya-kanta yang bercahaya kemilau karena diterpa oleh sinar matahari (Brahma Samhita 5.49). Hal ini berarti bahwa Brahma mampu menciptakan alam material beserta segala fasilitas kehidupannya atas karunia Sri Visnu. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa dewa Brahma yang berkuasa di alam semesta kita saat ini adalah jiva-tattva yang memiliki sifat dasar tidak ubahnya seperti jiva-jiva / atman yang ada pada mahluk-mahluk hidup lainnya. Hanya karena beliau (Brahma) sudah melakukan sangat banyak perbuatan bajik selama kehidupan masa lalunya menyebabkan dirinya bisa diangkat sampai kepada kedudukan tertinggi sebagai second creation langsung dibawah Tuhan Yang Maha Esa. Lalu bagaimana jika tidak ada jiva/atman yang memiliki kualifikasi dalam menduduki posisi dewa Brahma? Dikatakan, “Tatra brahma tu vijneha purvokta vidhaya hareh”, jika tidak ada makhluk hidup (jiva) yang memenuhi syarat untuk menjabat sebagai Brahma, maka Tuhan Sri Hari sendiri bertindak sebagai Brahma”. Jadi dapat dikatakan bahwa kedudukan Brahma dapat dipegang oleh mereka yang tergolong jiva-tattva, atau mahluk hidup biasa sebagaimana halnya kita, namun memiliki karma bajik yang luar biasa banyak dan juga bisa merupakan perwujudan Tuhan sendiri yang merupakan Visnu-tattva.

Visnu-tattva sendiri mengacu kepada istilah untuk Tuhan Yang Maha Esa beserta semua perwujudan / ekspansi-Nya yang kekal. Mulai dari dasa avatara, tri purusa avatara, perwujudan aspek Brahman, dan Paramatman adalah Visnu-tattva. Dan harus dimengerti bahwa interprestasi Veda mengenai keberadaan Tuhan sangatlah unik. Tuhan dalam Veda tidak bisa dikatakan monoteisme murni, tidak juga bisa dikatakan sebagai politeisme. Jika pada agama lain dikatakan Tuhan hanya satu tiada duanya, maka dalam sistem teologi Veda, Tuhan dikatakan hanya satu, tetapi dapat menjelma dalam sangat banyak perwujudan, bahkan jauh lebih banyak dari seluruh jiva-jiva dan atom-atom yang ada di alam material ini karena dikatakan bahwa Tuhan menemani setiap mahluk hidup sebagai Paramatman dan beliau juga mewujudkan diri dalam setiap atom sebagai spiriton yang menyebabkan atom tersebut dapat tetap aktif. Dan uniknya dikatakan bahwa semua perwujudan dan ekspansi Tuhan tersebut adalah kekal abadi untuk selamanya. Jadi Tuhan orang Hindu adalah maha satu (monoteisme) tetapi juga maha banyak (politeisme). Namun tentu saja maksud dari maha banyak disini bukan tertuju pada Tuhan dalam entitas dan kesadaran yang berbeda. Secara material mungkin dapat kita analogikan seperti seseorang sedang berhadapan dengan seribu cermin, maka bayangan orang tersebut terwujud dalam seribu cermin tersebut. Meski demikian kesadaran orang tersebut tetaplah satu.

Sementara itu yang paling unik dan sangat sulit untuk dipahami adalah Siva-tattva. Apakah Siva adalah Tuhan atau hanya setaraf dewa biasa yang memiliki jiva sebagaimana halnya mahluk hidup biasa seperti kita? Yang pasti, dewa Brahma menyatakan; “Ksiram yatha dadhi vikra visesa-yogat sanjayate na hi tatah prthag asti hetoh yah sambhütam api tatha samupaiti karyad govindam adi puruñam tam aham bhajami, seperti halnya susu berobah menjadi susu asam karena bercampur dengan unsur asam; namun susu asam tidak berbeda dan juga berbeda pada saat yang sama dari sumbernya yaitu susu. Demikianlah saya sembah Govinda (Krishna) Tuhan nan asli asal keberadaan Sambhu (Siva) yang berfungsi sebagai pelebur alam material” (Brahma Samhita 5.45). Jadi sebenarnya Siva juga adalah merupakan perwujudan dari Tuhan itu sendiri, namun dalam satu-satuan waktu juga berbeda dari Tuhan.

Kesamaan Siva dengan Tuhan Sri Hari diperlihatkan dimana Siva tidak akan pernah mengalami kematian dan kehancuran secara fisik meskipun suatu saat terjadi maha pralaya dimana semua unsur alam material hancur dan terserap kembali kepada pori-pori maha visnu karena Siva berkedudukan di alam rohani Kailasa yang kekal abadi. Namun Siva juga memperlihatkan perbedaannya dengan dikatakan “Vaisnavanam yatha sambhuh, diantara semua penyembah (bhakta) Visnu, Sambhu (Siva) adalah yang paling utama” (Bhag. 12.1.36). Kepada Sankarsana, Siva juga berdoa sebagai berikut; “Om namo bhagavate maha puruñaya sarva guëa daukhauy anantasya vyaktaya nama iti …. O Tuhanku, saya sujud kepada-Mu dalam perwujudan-Mu sebagai Sankarsana. Anda adalah sumber segala kekuatan rohani. Meskipun Anda memiliki sifat-sifat tak terbatas, Anda tetap tak dikenal oleh mereka yang bukan penyembah-Mu” (Bhag. 5.17.17). Dalam doa-doa pujian yang diajarkan kepada para Praceta (Bhag.4.24.33- 69), Siva menyatakan bahwa Visnu atau Hari adalah pujaannya. Siva antara lain berdoa, “Tuhan maha pengasih, orang-orang bijaksana sadar bahwa jika mereka tidak memuja diri-Mu, maka seluruh hidupnya akan sia-sia. Mereka tahu bahwa Anda adalah parambrahman dan Paramatmä. “Meskipun seluruh jagat takut kepada diriku Rudra yang memusnahkan segala sesuatu pada hari pralaya (kiamat), namun orang bijaksana menjadikan Anda tujuan yang tidak pantas ditakuti”. Demikian juga pada saat dibingungkan oleh Mohini, inkarnasi Sri Narayana (Visnu) sebagai wanita super cantik, Siva berkata kepada istrinya Parvati, “Wahai dewi, engkau telah lihat tenaga mengkhayalkan Sri Hari yang menjadi Penguasa setiap orang. Meskipun diriku adalah salah satu perbanyakan-Nya, namun aku sendiri dikhayalkan oleh tenaga-Nya. Lalu apa yang harus dikatakan tentang mereka yang selalu bergantung pada tenaga material (maya)-Nya?” (Bhag. 8.12.42).

Kenapa menjadi Hindu?

Kenapa menjadi Hindu?

 

Kenapa menjadi Hindu?

Sumber: Dikutip dari posting saudara Dharma

 

Stephen Knapp, seorang  mantan Kristen keturunan Yahudi berkebangsaan Amerika memilki 28 alasan mengapa ia masuk Hindu, yaitu:

  1. Apa yang diajarkan oleh agama Hindu? Peradaban Veda atau agama Hindu modern, adalah satu cara hidup. Ia bukanlah satu ras manusia atau sekedar agama atau keyakinan sektarian. Ia tidak menjadi milik satu ras atau negeri tertentu. Ia adalah satu jalan yang mendukung satu aturan tingkah laku (code of conduct) yang menghargai kedamaian dan kebahagiaan dan keadilan bagi semua orang.
  2. Hindu adalah peradaban tertua di dunia yang tetap hidup.
  3. Veda adalah kitab suci yang tertua dan paling lengkap.
  4. Veda mempunyai filsafat spiritual yang paling maju dan paling sempurna.
  5. Veda memberikan lebih banyak informasi mengenai ilmu pengetahuan tentang kehidupan sesudah mati, karma dan reinkarnasi.
  6. Filosofi Veda menawarkan pemahaman paling lengkap mengenai Tuhan dan dimensi spiritual.
  7. Hindu dan Veda memiliki banyak sabda dan perintah langsung dari Tuhan.
  8. Veda menawarkan bentuk-bentuk Tuhan yang paling indah dan penuh kasih sayang.
  9. Peradaban Veda memiliki guru-guru spiritual terbesar yang dapat anda temukan.
  10. Veda menawarkan jalan yang paling langsung kepada realisasi dan pencerahan spiritual pribadi.
  11. Karena Hindu adalah satu jalan yang paling ekspresif, ia juga adalah yang paling memenuhi secara emosional.
  12. Hindu, menawarkan satu jalan hidup ilmiah, dari diet, gaya hidup, jadwal harian, dan lain-lain.
  13. Siapapun dalam posisi apapun dapat menjadi seorang Hindu dan mempraktekan dan mendapat manfaat dari pengajaran Veda.
  14. Jalan Veda memandang semua agama sebagai benar, atau bagian dari kebenaran yang satu, dan jalan bagi keselamatan.
  15. Hindu, tidak menghadirkan Tuhan sebagai Tuhannya orang Hindu, Muslim, Kristen atau Sikh.
  16. Inilah sebabnya mengapa orang-orang Hindu, pengikut dari jalan Veda, dapat hidup damai dengan orang-orang dari agama lain.
  17. Agama Hindu tidak mempunyai konsep jihad, perang suci, perang salib, atau kesyahidan.
  18. Pengikut filosofi Veda tidak menjadikan orang lain sebagai target konversi.
  19. Agama Hindu menerima bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memilih jalan mereka sendiri menuju pencerahan atau keselamatan.
  20. Agama Hindu menawarkan satu Tuhan dan kesadaran universal, jauh melampaui sekedar tradisi lokal.
  21. Agama Hindu mendorong kita semua melihat Tuhan dalam semua makhluk.
  22. Di dalam Hindu anda dapat mengajukan semua pertanyaan yang anda inginkan tanpa dianggap murtad atau orang yang ragu.
  23. Agama Hindu adalah peradaban satu miliar dollar.
  24. Veda menawarkan jalan termudah untuk kembali kepada Tuhan.
  25. Agama Hindu mengajarkan kesadaran universal daripada kesadaran yang berpusat pada diri sendiri.
  26. Agama Hindu mengembangkan kepedulian yang sungguh-sungguh terhadap orang lain.
  27. Dengan atau tanpa institusi, agama Hindu menunjukkan dan menyatakan bahwa semua orang mempunyai hubungan pribadi dengan Tuhan.
  28. Agama Hindu, membukan pintu makna kehidupan yang sebenarnya.

Henry David Thoreau (1817-1862) Filsuf Amerika, unitarian, kritikus sosial, transendentalis dan penulis. Adalah Ralph Waldo Emerson yang membangunkannya pada sebuah antusiasme sejati pada India.Kekuatan dari Upanisad bahwa Thoreau muncul mewarisinya di Walden dan menginspirasi tidak hanya pada mereka yang mempelopori perpindahan tenaga kerja Inggris, tetapi semua yang membacanya pada hari ini. Kelok-kelok di timur laut Massachusetts, penghormatannya pada sisi luar dan pandangannya jatuh pada Walden Pond.

Ia kerap menyinggung air—kiasannya jelas—kebijaksanaan Gita mengajarkan pemurnian pikiran: “Dengan usaha kesadaran pada pikiran, kita dapat berdiri jauh dari aksi dan konsekuensinya; dan segala hal, baik maupun buruk, pergi dengan kita seperti aliran air yang deras.”

Ia telah menemukan Sungai Ganganya yang suci. Tinggal di sana dan mencoba “mempraktekan yoga dengan setia” selama dua tahun keberadaannya di Walden, ia menulis:

Pada pagi hari saya memandikan intelektualitas saya pada filsafat yang mengagumkan dan agung dari Bhagavad Gita, sejak tahun-tahun yang berkomposisi dengan Tuhan itu berlalu, dan di dalam perbandingannya dengan dunia kita yang modern dan segala literaturnya tampak lemah dan sepele; dan saya ragu jika filosofinya tidak menjadi petunjuk pada bagian dari kehidupan sebelumnya, jadi sedikit keagungannya dari konsepsi kita. Saya meletakkan buku itu dan pergi pada sumur mata air saya, dan o! Di sana saya menemukan pelayan dari Brahmin, persembahyangan pada Brahma, Visnu dan Indra, yang tetap duduk pada kuil-Nya di sungai Ganga sambil membaca Veda, atau berhuni dengan atap dari pohon beserta kayunya dan air—kendi. Saya menemukan pelayannya datang mengambil air untuk gurunya, dan ember kita seperti digunakan mengambil air secara bersamaan pada sumur yang sama. Air murni di Walden adalah bercampur dengan air suci dari sungai Ganga.

(Sumber: The Writings of Henry D. Thoreau – Walden 1989. Universitas Princeton. Press. p 298 and How Vedanta Came to the West – By Swami Tathagatananda – swaveda.com). Listen to The Bhagavad Gita podcast – By Michael Scherer – americanphonic.com.)

Pada tahun 1840-an Thoreau menemukan India, antusiasmenya pada filsafat India demikian mendukungnya. Dari 1849-1854, ia membawa sejumlah besar kitab India dari Perpustakaan Universitas Harvard, dan tahun 1855 ketika teman Inggrisnya Thomas Chilmondeley mengiriminya sebuah hadiah dari 44 buku-buku Timur yang terdiri dari berbagai judul seperti Reg Veda Samhita, Mandukya Upanisad, Visnu Purana, Institute of Manu, Bhagavad Gita dan Bhagavata Purana, dan lain-lain.

Pada perenungannya pada India ia menemukan “sebuah kekuatan mengagumkan tentang keniskalaan” dan kekuatan mental yang mampu menarik dari perhatian dunia yang empiris kepada pikiran yang kokoh dan terbebas dari kebingungan.

Apa yang dikutip dari Veda telah saya baca dan bagi saya seperti cahaya dari seorang bintang yang lebih tinggi dan lebih murni, yang mendeskripsikan jalan yang agung melalui lapisan yang murni. Ia terbit bagi saya seperti bulan penuh setelah bintang-bintang keluar, menyeberang melalui sebuah lapisan di langit.

(Sumber: Commentaries on the Vedas, The Upanishads & the Bhagavad Gita – By Sri Chinmoy Aum Publications. 1996. p 26).

Bilamana saya telah membaca bagian-bagian Veda, saya merasa bahwa sebuah cahaya yang aneh dan tidak diketahui menyinari saya. Dengan ajaran yang hebat dari Veda, tanpa ada sentuhan dari sektarian. Ia adalah segala zaman, iklim dan kebangsaan dan adalah jalan yang megah menuju pencapaian dari Pengetahuan Terbaik. Ketika saya membacanya, saya merasa bahwa saya berada di bawah surga yeng berkelap-kelip dari sebuah malam musim panas.”

(Sumber: The Hindu Mind: Fundamentals of Hindu Religion and Philosophy for All Ages – By Bansi Pandit B & V Enterprises 1996. p 307).

Henry David Thoreau – Orang bijaksana yang memperoleh inspirasi spiritual dari Bhagavad Gita. Ditujukan pada Chitra Gallery.

Saya ingin katakan pada para pembaca kitab suci, jika mereka mengharapkan buku yang bagus, bacalah Bhagavad Gita … yang diterjemahkan oleh Charles Wilkins. Ia pantas dibaca sebagai referensi bahkan oleh orang-orang Amerika… Di samping Bhagavad Gita, Shakespeare tampaknya kadang disemangati kaum muda… Ex oriente lux mungkin masih dijadikan semboyan oleh para sarjana, untuk dunia Barat belum diperoleh dari Timur segala cahaya yang dipersiapkan untuk diperoleh kemudian.

Dalam bukunya Walden, Thoreau mengandung referensi tegas pada kitab-kitab India seperti:

How much more admirable the Bhagavad Geeta than all the ruins of the East.’ (Seberapa Lebih Menarik Bhagavad Gita daripada Seluruh Reruntuhan dari Timur)

(Sumber: The Writings of Henry D. Thoreau – Walden 1989. Universitas Princeton. Press. p 57).

Thoreau menggambarkan Kekristenan sebagai “radikal” karena “moralnya yang murni” kontras pada “intelektualitas yang murni” dari Hindu.

(Sumber: A Week on the Concord and Merrimack Rivers – By Henry David Thoreau p 109 – 111).

Veda mengandung catatan yang bijaksana dari Tuhan.” “Pemujaan yang diadakan oleh Veda adalah prestasi yang luar biasa.

Kitab-kitabnya merangkul keseluruhan moral hidup dari Hindu dan sebagai alasan tidak ada kepercayaan selain ketulusan. Kebenaran sebagai referensi pada hati terdalam manusia, tanpa ada standar. Thoreau, seperti transendentalist lainnya telah bernafas dan berkatolisitas dalam pikiran yang membawanya mempelajari agama India. Dari awal ia dikecewakan dengan organisasi Kristen (ia tidak pernah ke gereja) dan seperti yang Emerson tunjukkan minat tingginya pada Hindu dan filsafatnya. Dalam perbandingan dengan Hebraisme, Thoreau menemukan superioritas Hindu dalam banyak hal. Bagian berikut mendemonstrasikan kekecewaan Thoreau dengan Hebraisme dan kecintaanya pada Hindu: Pada 1853 ia menulis:

Umat Hindu adalah yang paling jelas dan religi yang penuh pertimbangan dibanding Ibrani. Mereka memiliki mungkin yang lebih murni, lebih merdeka dan pengetahuan yang impersonal (tanpa ada campur tangan manusia) mengenai Tuhan. Kitab suci mereka menggambarkan keingintahuan pertama dan akses kontemplasi kepada Tuhan; kitab Ibrani adalah hasil penelitian, terlalu dan lebih personal (ada campur tangan manusia) akan pertobatan. Itu mengejutkan dan penuh gairah. Tuhan lebih memilih jika anda mendekati-Nya dengan bijaksana, tidak mengaku dosa, meskipun anda berdosa. Hanya dengan melupakan diri anda bahwa diri anda datang mendekati-Nya. Dengan ketenangan dan kelemahlembutan di mana pendekatan dan wacana ilmiah filsafat Hindu pada tema terlarang adalah mengagumkan.

Max Muller yang awalnya adalah seorang Indologis yang sudah berusaha keras menterjemahkan Veda dan menyusun teori salah kaprah “penyerangan bangsa Arya atas Dravida” akhirnya mengakui bahwa Veda luar biasa  dan  jauh lebih superior dari Kekristenan sehingga dia sendiri berkata; “Veda akan terus dikagumi dan dihargai selama samudera dan gunung masih ada di atas bumi.”

Ralph Waldo Emerson berkata; “Veda memuliakan hidup kita. Seluruh filsafat dan ilmu pengetahuan Barat tampak kecil dan tak berarti di hadapan Veda. Seluruh manusia di bumi ini harus kembali ke Veda

Pall Thema mengatakan; “Veda adalah dokumen mulia, dokumen yang tidak saja bernilai dan menjadi kebanggaan India tetapi bagi seluruh umat manusia, karena di dalamnya kita melihat manusia berupaya untuk mengangkat dirinya di atas keberadaan dunia ini.”

Arthur Schoupenhour menyatakan: “Ini meyakinkan orang banyak bahwa Veda adalah abadi dan tidak dapat dijawab oleh manusia dan bahwa Veda berasal dari Brahman, yang adalah penciptanya

Prof. Heeren: “Veda berdiri tegak sendirian dalam kemegahannya sebagai mercusuar cahaya suci bagi gerak maju kemanusiaan”

Lord Morley: “Apa yang ditemukan dalam Veda, tidak ada di tempat lain

Leo Tolstoy: “Agama Veda tidak hanya agama yang tertua tapi juga agama yang paling sempurna. Ia menempati posisi pertama dan yang paling utama di antara agama-agama dunia”.

Gerald Heard mengatakan, ”Wedanta sangat ilmiah tentang – hukum-hukum yang mengatur alam semesta.”

Dr. Kenneth Walker yang menyanjung kebijaksanaan Weda dan mengatakan, ”Wedanta merupakan suatu usaha untuk meringkas seluruh pengetahuan manusia dan membuat manfaat seluruh pengalaman manusia. Pada suatu saat ia adalah agama, pada saat lainnya filsafat dan saat lainnya lagi ilmu pengetahuan.” Dengan kata lain 3 pilar ilmu pengetahuan dunia, terdapat di dalam kitab suci Hindu (Weda) yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Sarvepalli Radhakrishnan: “Setelah musim dingin selama beberapa abad, kita sekarang berada pada periode kreatif dari agama Hindu. Kita mulai melihat pada agama kita yang telah berusia berabad-abad dengan pandangan mata segar“.

Albert Enstein: “Ketika saya membaca Bhagavad Gita lalu merenungkan tentang bagaimana Tuhan menciptakan jagat raya ini, segala hal lain terasa begitu tidak bermakna

Muhammad, Islam dan Bhakti Yoga Muhammad, Islam dan Bhakti Yoga

Muhammad, Islam dan Bhakti Yoga

 

Muhammad, Islam dan Bhakti Yoga

 

Menurut Encyclopedia Britanica dan Encyclopedia Islamia, orang-orang Arab tidak tahu sejarah negerinya sebelum masa Islam (pre-Islamic era). Mereka menganggap begitu saja bahwa masa sebelum Islam adalah masa kegelapan dan kebodohan. Tetapi sesungguhnya jauh sebelum Muhammad muncul sebagai Nabi dan mengajarkan agama Islam, penduduk Arabia menganut ajaran Veda. Fakta ini diketahui dari satu sisa peninggalan berupa anthologi (kumpulan sajak) Arab berjudul SAYAR-UL-OKUL yang ditemukan di perpustakaan Istambul di Turki. Kolektornya adalah Abu Amir Abdul Asmai, penyair di istana khalifah Harus AL Rasyid di Baghdad.

Kitab SAYAR-UL-OKUL menguraikan tentang kehidupan beragama dan adat-istiadat masyarakat Arab di masa silam. Dikatakan bahwa Ka’bah yang ada di Mekah sekarang, adalah dahulu grand temple (kuil agung)  dimana di puja deva yang paling agung yaitu Mahadeva atau Siva. Dikatakan bahwa batu hitam (black stone, lebar 28 cm, tinggi 38 cm dan tinggi 38 cm dan ditaruh pada tumpuan 1,5 m diatas lantai) yang ada dalam Ka’bah sekarang adalah wujud (image) Siva. Dahulu ada 360 patung (arca atau murti) para deva di-stanakan disekeliling Siva (dalam wujud batu hitam). Setiap tahun, perayaan Siva-Ratri yang disebut OKAZ dimeriahkan dengan acara lomba ber-sajak memuji Mahadeva. Pemenang sajak terbaik diberikan hadiah dan sajaknya dituliskan pada dinding  Ka’bah. Sajak pujian berikut ditulis oleh Umar Bin Assham yang tewas terbunuh ketika laskar Muslim memasuki Mekah dan menghancurkan Kuil agung beserta segala patung, gambar dan sajak-sajak pujian yang ada di dalamnya. Tetapi sajaknya ini berhasil diselamakan oleh Hassan Bin Sabiq, penyair Muslim dalam masa pemerintahan Nabi Muhammad.

(Orang yang telah menghabiskan masa hidupnya dengan kegiatan berdosa, amoral, nafsu dan  kemarahan).

(Jika ia pada akhirnya mau bertobat untuk kembali hidup bermoral, apakah ada cara-cara benebus dosanya?).

(Bahkan seandainya dia sekali saja memuja Mahadeva, dia dapat mencapai kedudukan tertinggi dalam jalan kebenaran).

(O Tuhan, cabut saja nyawaku dan sebagai balasannya berikan hamba karunia tinggal sehari saja di Hind (India), sebab seseoang akan menjadi rohani suci begitu sampai di negeri itu).

(Dengan berziarah ke negeri Hind (India) orang memetik phahala perbuatan-perbuatan bajik dan memperoleh hak istimewa berhubungan baik dengan para guru Hindu nan mulia).

 

Para pandita Kuil Agung (Ka’bah) Mekah adalah orang-orang Qureshi. Muhammad sendiri adalah orang Qureshi. Akan tetapi, oleh karena beliau adalah penunggang onta yang buta huruf, maka beliau (seperti) disisihkan dari perayaan-perayaan besar dan meriah di Ka’bah. Hal ini mengecewakan Muhammad. Setelah memperoleh wahyu tentang pemujaan hanya kepada Allah (Tuhan) dan ber-status Nabi, Muhammad menyatakan diri sebagai “But shikan”, penghancur berhala.

Ketika di Mekah terjadi protes keras besar-besaran menentang penghancuran segala patung (yang dianggap berhala) yang dilakukan oleh Muhammad dan para pengikutnya, lalu Muhammad dan pengikutnya mengungsi ke Madinah. Setelah merasa cukup kuat untuk menyerang Mekah, lalu Muhammad berdoa kepada Mahadeva (Siva), “Seandainya hamba mampu menaklukkan Mekah, hamba akan hancurkan ke 360 patung deva-deva itu, tetapi tidak menghancurkan wujud (image) Mu (berupa batu hitam). Hamba akan cium Anda, sujud dihadapanmu dan puja Anda dengan daun dan buah kurma dan air zam-zam”

Setelah menaklukkan Mekah (karena menyerang di malam hari), Muhammad beserta laskarnya kemudian menghancurkan semua patung dan gambar yang ada dalam Ka’bah, terus mencium “batu hitam” (image Siva), sujud dihadapannya dan memujanya. Praktek mencium “batu hitam” yang ada dalam Ka’bah dilaksanakan oleh setiap orang Muslim sampai sekarang. “Ini sunnah Nabi”, kata mereka.

Versi ajaran Veda yang disimpangkan antara lain:

  1. Batu hitam dimaksud adalah sebenarnya Siva-linga, dan disebut “Sange Asvad” atau “Hajar Asvad”. Kata “Asvad” berasal dari kata Sanskerta “Asita” yang berarti hitam.
  2. Kata “Siva Ratri” berubah menjadi “Shabe-Barat”. Oleh karena kelender Muslim berdasarkan peredaran Bulan, maka perayaannya sudah jauh bergeser dari hari yang sebenarnya. Siva-ratri = malam perkawinan Siva dengan Parvati atau Uma. Orang Arab menyebut ibu dengan nama Umi.
  3. Bulan sabit yang menghias “mukut” Siva dijadikan lambang bangsa, dan semua  bendera negeri Muslim berhiaskan gambar bulan sabit.
  4. Nama “Mekah” berasal dari kata Sanskerta “Makhaih” yang berarti yajna (kurban suci), karena dimasa lalu disana (di Kuil agung atau Ka’bah di Mekah) sering diselenggarakan yajna besar memuja para deva.
  5. Kalimat “Allahu Akbar” pun adalah kata-kata Sanskerta, “Alla dan Akka”, dua kata panggilan untuk Tuhan.
  6. Mencukur (gundul) rambut ketika hendak naik haji, mandi dan mengenakan dua lembar kain putih tanpa dijarit adalah serupa dengan praktek brahmacari ketika menerima upacara pemberian tali-suci oleh guru kerohanian.
  7. Mengelilingi Ka’bah tujuh kali adalah serupa dengan praktek pradaksina atau parikrama, mengelilingi Kuil yang dilakukan oleh para penganut ajaran Veda.
  8. Banyak sarjana berpendapat bahwa nama Ka’bah berasal dari kata Sanskerta “Kavya” yaitu gelar sang Pandita para Asura, Kavi Sukracarya. Dahulu ada 2 (dua) tradisi pemujaan kepada Siva. (1) Bila menginginkan hidup mulia dengan sifat-sifat luhur, orang-orang Arab memuja Siva pada hari Senen (Monday atau Soma, hari Bulan). (2) Bila menginginkan kekuatan atau kekayaan untuk menaklukkan atau mengatasi orang/pihak lain, orang-orang Arab memuja Siva pada hari Jum’at (Sukra-vara, hari mengingat Sukra, sang Pandita para Asura).
  9. Apakah sholat Jum’at yang dilakukan oleh kaum Muslim dan dianggap sholat paling utama, terkait dengan peranan Sukra Usana Kavya dalam membimbing para Asura atau hanya kebetulan saja begitu? Silahkan anda merenungi!

Kemunculan Muhammad sebagai Nabi agama Islam disebutkan dalam pustaka suci Veda. Dikatakan, “Kemudian datang bersama para sahabatnya seorang buta huruf dengan sebutan guru (= rasul, nabi) bernama Mahamada (Bhavisya-Purana Skanda III, Bab 3, sloka 5). Disebutkan pula bahwa Mahamada adalah marusthalnivasinam, penduduk daerah gurun (= Arabia).

Muhammad lahir th.570 Masehi di Mekah. Pada usia 40 tahun beliau menerima wahyu Tuhan melalui malaekat Jibril di goa Hira, tempatnya merenung (=bermeditasi). Ajaran yang diterima berupa wahyu ini kemudian menjadi bahan kitab suci Al Qur’an dan Muhammad menjadi Nabi agama Islam. Oleh karena wahyu-wahyu berikutnya diterima secara selang waktu dan terus berlanjut sampai akhir hayatnya, maka tidak ada Qur’an resmi yang terbit selama Muhammad hidup.

Setelah Muhammad wafat th. 632 Masehi, barulah Khalifah Abu Bakar membentuk panitia dibawah bimbingan sekretaris Nabi yaitu Zaid Ibnu Thabit untuk mempersiapkan versi Qur’an resmi berupa buku/kitab. Qur’an yang dikenal sekarang terbagi menjadi 14 Bab (Sura) dan terdiri dari 6.200 ayat.

Disamping kitab suci Al Qur’an, orang Muslim juga berpegang pada:

  • Hadits, kumpulan kata, kalimat ucapan dan pernyataan terkait dengan Qur’an yang di-kemukakan oleh Nabi Muhammad (dan tidak tercantum dalam Qur’an).
  • Sunnah, uraian tentang prilaku, perbuatan dan kegiatan Nabi Muhammad (yang dijadikan tauladan oleh para pemeluk Islam).

Kehiduan penduduk Arabia sebelum Nabi Muhammad lahir, secara moral amat merosot. Orang-orang membuat dan menyembah patung deva-deva menurut keinginan dan angan-angan nya sendiri. Mereka punya kebiasaan mengorbankan bayi perempuan kepada patung yang di puja, berhubungan badan dengan ibu kandung atau saudara perempuan, bersukaria dengan miras dan judi, dan sebagainya.

Misi Muhammad adalah menegakkan prinsip pemujaan hanya kepada Allah (Tuhan). Maka beliau dan pengikutnya menumpas habis segala bentuk pemujaan kepada berbagai macam patung deva-deva. Dan beliau menetapkan aturan-aturan hidup bermoral dengan mempraktekkannya dalam kehidupannya sendiri.

Tetapi apakah Nabi Muhammad benar-benar anti pemujaan kepada gambar, lukisan dan patung yang terkait dengan Tuhan? Ternyata tidak! Hal ini ditunjukkan oleh fakta-fakta berikut:

  1. Ketika menaklukkan Mekah dan memasuki Ka’bah, Muhammad memerintahkan agar segala patung, gambar dan lukisan dihancurkan,kecuali gambar Bunda Maria yang sedang memangku bayi Jesus. Nabi menaruh tangannya sendiri pada gambar itu dan menyelamatkan dari kehancuran.
  2. Pada masa awal pengajarannya tentang Islam, Muhammad mengungkapkan (pentingnya) perantaraan devi Al Lat, Al Uzza dan Al Manat yang sangat dihormati. Satu versi ceritra menuturkan Nabi berkata sbb. “Apakah anda memikirkan (tentang) Al Lat dan AL Uzza dan Al Manat yang ketiga selain itu? Mereka adalah bagaikan angsa-angsa dewani nan mulia. Perantaraan mereka di harapkan wujud-wujud mereka tidak boleh dilalaikan”.

Lalu Nabi Muhammad sujud telungkup mengakhiri pengajaran (dakwah) nya dan para hadirin pun ikut sujud telungkup.

Nabi Muhammad sesungguhnya mengakui bahwa menyembah gambar, lukisan atau arca (patung) Tuhan (Allah) adalah cara bonafid  untuk mengingat, menghormati dan melayani Allah. Namun Muhammad tidak mengungkapkan tentang wujud pribadi Allah, sebab penduduk berada pada tingkat moral kehidupan yang begitu merosot. Dan mengajarkan pengetahuan tentang Allah pribadi kepada mereka akan sangat berbahaya dan merusak. Nabi Muhammad berkata, “Bicaralah kepada rakyat sesuai tingkat kemampuan intelektual mereka. Sebab, jika engkau bicara banyak hal kepada mereka, banyak dari mereka tidak akan bisa mengerti dan dengan demikian menjadi salah mengerti”.

Tradisi Muslim menyatakan bahwa satu bagian pengetahuan spiritual  “Heavenly Book (Kitab Sorgawi)” yang tersimpan dibawah singgasana Allah, diajarkan kepada Nabi Muhammad ketika beliau naik ke alam Surgawi dengan menembus langit ke-tujuh (Isra-miraj).

Pengetahuan rohani yang diajarkan itu ada 3 (tiga) macam yaitu:

  1. Pengetahuan yang Allah minta kepada Nabi untuk tidak diajarkan (disembunyikan).
  2. Pengetahuan yang Allah persilahkan kepada Nabi untuk diajarkan atau tidak diajarkan (disembunyikan).
  3. Pengetahuan yang Allah minta kepada Nabi untuk diajarkan kepada seluruh warga masyarakat.

Jadi pengetahuan spiritual yang diterima Nabi Muhammad dari Allah begitu terbatas. Namun demikian, beliau memberikan banyak isyarat tentang Tuhan pribadi yang duduk diatas singgasanaNya di Sorga ketika Nabi menghadap Beliau.

Setelah kembali dari menghadap Allah, orang-orang bertanya kepada Nabi, “Apakah anda melihat Allah?”. Nabi menjawab, “Saya lihat hanya cahaya, cahaya begitu kemilau sehingga Allah seperti duduk dibelakang 20.000 tirai. Jikalau semua tirai itu disingkirkan dan andaikan seseorang melihat wajah Allah, maka ia akan seketika terbakar menjadi abu”.

Dikatakan lebih lanjut bahwa ketika Nabi Muhammad berdiri dihadapan Allah, dia merasa aman. Tetapi Nabi sulit berdiri ketika Allah mengulurkan kedua tanganNya dan menaruh satu tanganNya di bahunya dan yang lain di dadanya. Suhu amat dingin membuat tulang dan darahnya seperti beku. Kemudian suhu dingin  itu hilang dan ber-ganti menjadi suasana suka-cita yang dirasakan seperti membawa Nabi keluar dari tubuhnya kedalam keadaaan begitu ajaib yang tidak mungkin bisa diuraian (dengan kata-kata).

Pada suatu pagi hari Nabi Muhammad terlambat kumpul bersama para sahabatnya untuk sholat bersama. Kemudian kepada mereka, beliau berkata, “Saya bangun pagi sekali melakukan wudu. Dan dalam suasana mengantuk saya panjatkan doa-doa sesuai perintah Allah. Terus saya seperti terjaga dan tiba-tiba melihat Penciptaku dalam wujud Nya yang amat tampan ………..” (Hadits Nabi, Penuturan Muadh Bin Jabal).

Islam pada dasarnya mengajarkan Bhakti Yoga sebagaimana disampaikan oleh His Divine Grace AC Bhaktivedanta Svami Prabhupada, “Agama apapun yang menjadikan Tuhan sebagai tujuan, prakteknya adalah bhakti-yoga. Agama Islam pun adalah bhakti-yoga”.

Menurut Veda (Bhagavata Purana 7.5.23), ada 9 (sembilan ) proses bhakti kepada Tuhan. Kesembilan proses bhakti ini terdapat pula di dalam Al Qur’an.

Mendengarkan tentang Allah adalah proses Sravanam.

Disamping proses bhakti, Al Qur’an juga secara implisit dan sederhana menjelaskann tentang tiga aspek Tuhan (Allah) sebagai berikut:

Aspek pribadi Allah lebih lanjut dijelaskan dalam Al Qur’an sebagai berikut:

 

 

Jadi Allah adalah Pribadi spiritual maha utama dengan segala kehebatan-Nya. Allah bukanlah seperti yang dimengerti oleh kebanyakan orang bahwa Beliau adalah pribadi abstrak atau kiasan, atau cahaya utama, energi serba meliput atau zat tanpa wujud pribadi. Menyatakan bahwa Allah bukanlah personal atau berpribadi adalah kekeliruan. Dan ini sama saja dengan mengatakan bahwa Allah tidak punya telinga, mulut, mata, tangan, kaki, dsb. Atau dengan kata lain, Allah itu tuli, bisu, buta, tak berdaya, lumpuh, dsb. Lalu apa artinya Allah maha-kuasa (omni-potent), Ia yang mampu berbuat apa saja?

Dahulu di abad ke-15, Sri Caitanya Mahaprabhu berdiskusi tentang Allah dengan seorang mullah (pemuka agama) Muslim bernama Abdullah Pathan. Ketika ditanya oleh Sri Caitanya Mahaprabhu tentang Allah, sang Mullah menjawab, “Menurut ayat-ayat Qur’an, Allah adalah impersonal, tanpa wujud, bentuk, rupa, sifat dan ciri apapun”.

Hampir semua sarjana Muslim berpendapat demikian, Allah adalah impersonal, tidak berwujud pribadi. Sebabnya adalah karena Nabi Muhammad tidak secara explisit menjelaskan wujud pribadi Allah seperti apa.

Terhadap jawaban demikian, Sri Caitanya berkata sebagai berikut.

Berikut adalah rincian jawaban Sri Caitanya Mahaprabhu  dalam  diskusi-Nya dengan Abdullah Pathan tentang Allah. Beliau menunjukkan bahwa Al-Qur’an menyimpulkan bahwa Allah adalah pribadi spiritual maha utama dengan potensi (kekuatan/kemampuan) tak terbatas.

 

Bahwa Allah berwujud spiritual dengan potensi dan sifat-sifat tak terbatas, ditunjukkan pula oleh ayat-ayat Hadits berikut.

  1. “Mereka yang percaya dan berkedudukan mulia (rohani), melihat wajah Allah di pagi dan sore hari, yang bila dibandingkan dengan-nya, kebahagiaan sorgawi menjadi tidak berarti dan dilupakan”(142, p.94).
  2. “Allah-Taala menciptakan Adam dari sura, wujud (image) diri-Nya”  (Hadits Bukhari and Muslim, 141, p.45), (100, p. 74).

 

 

KESIMPULAN

  1. Allah yang maha pengasih (al-rahman) dan maha berkarunia (al-rahim) mengungkapkan pengetahuan tentang diriNya bagi semua orang sesuai dengan tempat (desa), waktu (kala) dan kehidupan penduduk (patra).
  2. Demikianlah, bila se-seorang ingin mengerti bahwa Allah adalah tanpa wujud, sifat dan ciri apapun, maka Ia mengungkapkan pengetahuan yang cocok kepadanya yaitu pengetahuan tentang aspek  impersonal  diri Nya. Bila seseorang ingin mengerti bahwa Allah  berwujud  spiritual dengan sifat dan potensi tak terbatas, maka Ia mengungkapkan pengetahuan yang cocok kepadanya yakni pengetahuan tentang aspek personal diriNya.
  3. Tetapi bila seseorang cukup cerdas dan beruntung, maka dia akan mengerti bahwa Allah sesungguhnya adalah Kepribadian spiritual maha tampan dan maha indah berdasarkan isyarat-isyarat yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al Qur’an.
  4. Qur’an menyatakan, “Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai  Allah (42.9)”, karena Ia (Allah) berhakekat spiritual, mutlak dengan potensi (kekuatan/kemampuan) dan sifat-sifat tak terbatas. Jika Allah dikatakan tidak berwujud pribadi, lalu bagaimana mungkin Ia (sebagai asal-mula /sumber segala sesuatu), bisa dikatakan lengkap dan sempurna dalam segala hal? Dan bagaimana mungkin anda mencintai sesuatu yang tak berwujud?
  5. Islam berarti “berserah diri” (kepada Allah). Tidak ada satu ayat pun di dalam Qur’an yang membenarkan orang membunuh sapi untuk dimakan.
  6. Didalam Qur’an tercantum pula prinsip reinkarnasi. Dikatakan; (a) “Ketahuilah, siapapun diantara kalian yang melanggar sabbath, Kami (Allah) berkata kepadanya,’Jadilah engkau monyet hina dan tercampakkan’” (65.2). (b) “Mereka yang menyebabkan Allah murka dan mengutuk, Ia merobahnya menjadi monyet dan babi” (60.5).
  7. Nabi Muhammad dikutip mengatakan sbb. “Dalam setiap kalimat Al-Quran terdapat makna eksternal dan internal. Makna atau arti eksternal bisa dimengerti oleh kebanyakan orang. Tetapi makna atau arti internalnya tidak bisa dimengerti oleh mereka. Makna internal inilah yang dikemukakan oleh Sri Caitanya Mahaprabhu kepada sang mullah Abdullah Pathan.

Cabang Filsafat Veda Cabang Filsafat Veda

Cabang Filsafat Veda

 

Cabang Filsafat Veda

Dalam setiap agama yang berkembang di dunia ini sudah pasti memiliki berbagai masab dan aliran yang berbeda-beda dimana terkadang satu aliran dengan aliran yang lainnya saling bertentangan. Adanya perbedaan ini acap kali menimbulkan konflik fisik dan psikis. Sikap klaim-mengklaim kebenaran, memvonis ajaran yang berbeda dengan dirinya sesat dan tidak jarang terjadi pertumpahan darah karenanya. Haruskah cita-cita “kedamaian dan kebahagiaan abadi” yang dicita-citakan setiap agama melalui konflik dan pertumpahan darah?

Perang antara aliran Shia, Sunni dan Kurdi di Irak telah menewaskan hampir 110 orang perharinya. Demikian juga dengan perang Hamas, Shia dan Al Fattah yang terjadi di Palestina telah menumpahkan ribuan jiwa adalah merupakan sedikit kasus yang paling mengerikan atas klaim aliran yang paling benar. Lalu apakah hal yang serupa juga terjadi dalam sistem filsafat Veda?

Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara istilah aliran dalam sistem agama Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam) dengan aliran dalam sistem filsafat Veda. Jika dikatakan dari sekian banyak aliran yang muncul dalam dunia Islam yang benar hanyalah satu, maka tidak demikian halnya dalam ajaran Veda. Vedapun memiliki aliran filsafat yang tidak kalah banyaknya dimana satu dengan yang lainnya seolah-olah sangat bertolak belakang. Tetapi “anehnya”, hampir tidak pernah ada kasus permusuhan, kebencian dan pembunuhan karena perbedaan aliran filsfat ini. Yang ada hanyalah acara debat filsafat dimana pihak yang kalah akan mengakui kekalahannya dengan lapang dada dan bahkan mengikuti sistem filsafat lawannya tanpa diakhiri oleh konflik fisik. Kenapa bisa demikian?

Secara garis besar, filsafat Veda dapat dibedakan menjadi aliran filsafat Astika dan Nastika. Filsafat Astika adalah filsafat yang meletakkan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber dari segala sesuatu. Sementara itu paham Nastika benar-benar bertolak belakang dengan paham Astika, yaitu paham yang dapat dikatakan sebagai Atheis, yang seolah-olah meniadakan keberadaan Tuhan.

Dua cabang utama filsafat Astika adalah Mimamsa dan Nyaya, sedangkan cabang filsafat Nastika adalah Carvaka, Jaina dan Buddha. Mimamsa terdiri dari dua bagian, yaitu Purva Mimamsa dan Uttara Mimamsa atau biasa disebut Vedanta.  Cabang filsafat Vedanta yang paling utama antara lain filsafat Dvaita yang didasarkan pada Sutra Basya (ulasan Sutra), filsafat Bhedabheda oleh Nimbarkacarya, filsafat Siddhanta oleh Sri Meykandar, Filsafat Visistadvaita oleh Sri Basya, Filsafat Advaita yang berdasarkan Sariraka basya dan Narada Bhakti Sutra, filsafat Suddha Advaita oleh Sri Vallabacarya dan yang paling berpengaruh dalam gerakan bhakti (bhakti movement) di dunia saat ini adalah filsafat Acintya Bedhabedha tatva oleh Sri Chaitanya Maha Prabhu yang menurun pada garis perguruan Gaudya Vaisnava. Dari cabang filsafat Nyaya melahirkan dua melahirkan dua cabang lagi, yaitu filsafat Sankya yang menelurkan Patanjali Yoga Sutra dan filsafat sankya yang berdasarkan Sankhyapravacana Sutra oleh Maha Rsi Kapila dan filsafat Nyaya yang berakar dari Nyayasutra oleh Gautama dan filsafat Vaisesika berdasarkan Vaisesika Sutra oleh Rsi Kanada. Disamping itu juga terdapat beberapa cabang filsafat lainnya seperti filsafat Pasupata Dualis, Saiva Siddanta Dualis, Dvaitadvaita Saiva, Vasistadvaita Saiva, Visesadvaita Saiva, Nandikesvara Saiva dan juga Saiva Monistik.

Tentu kita akan dibuat bingung dengan sub-sub sistem filsafat yang seolah-olah saling bertentangan satu sama lainnya ini. Mungkinkah sebuah sistem yang komprehensip disusun dari sub sistem – sub sistem yang salaing bertolak belakang? Tidakkah kondisi tersebut akan melemahkan sistem itu sendiri? Jika kita menggunakan dasar pemikiran semitik, jawabannya sudah pasti tidak mungkin.

Tuhan yang maha segalanya mengetahui perbedaan karakter, watak, tabiat dan kecerdasan setiap ciptaannya. Oleh karena guna dan karmanya, ada orang yang dilahirkan dengan kondisi serba kekuarangan, lemah secara fisik dan mental serta bodoh secara spiritual dan material. Ada juga yang dilahirkan dengan kecerdasan ekstra, dengan mudah dapat mengerti semua kitab suci dan sadar akan adanya Tuhan dengan sendirinya. Itulah sebabnya Tuhan menurunkan berbagai cabang filsafat yang berbeda-beda dan seolah-olah bertolak belakang dalam satu sistem filsafat Veda. Hal yang serupa dapat dianalogikan sebagaimana halnya sistem pendidikan di negara kita yang menyediakan kurikulum berbeda-beda untuk masing-masing daerah dan masing-masing tingkatan. Kurikulum yang diterapkan di kota-kota besar dan daerah-daerah maju tidak mungkin dapat diterapkan di daerah-daerah terpencil dan terbelakang, demikian juga sebaliknya. Kurikulum untuk anak-anak tingkat SMA tidak mungkin diterapkan untuk mendidik taman kanak-kanak.

Dalam Bhagavad Gita 7.20 Sri Krishna berkata; “kāmais tais tair hṛta-jñānāḥ prapadyante ‘nya-devatāḥ taḿ taḿ niyamam āsthāya prakṛtyā niyatāḥ svayā, Orang yang kecerdasannya sudah dicuri oleh keinginan duniawi menyerahkan diri kepada para dewa dan mengikuti aturan dan peraturan sembahyang tertentu menurut sifatnya masing-masing. Dan lebih lanjut ditegaskan dalam Bhagavad Gita 7.23-24; “antavat tu phalaḿ teṣāḿ tad bhavaty alpa-medhasām devān deva-yajo yānti mad-bhaktā yānti mām api, Orang yang kurang cerdas menyembah para dewa, dan hasilnya terbatas dan sementara. Orang yang menyembah para dewa pergi ke planet-planet para dewa, tetapi para penyembah-Ku akhirnya mencapai planet-Ku yang paling tinggi. avyaktaḿ vyaktim āpannaḿ manyante mām abuddhayaḥ paraḿ bhāvam ajānanto mamāvyayam anuttamam, Orang yang kurang cerdas, tidak mengenal Diri-Ku secara sempurna, menganggap bahwa dahulu Aku, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Krsna, tidak bersifat pribadi dan sekarang Aku sudah berwujud dalam kepribadian ini.  Oleh karena pengetahuan mereka sangat kurang, mereka tidak mengenal sifat-Ku yang lebih tinggi, yang tidak dapat dimusnahkan dan bersifat Mahakuasa. Jadi tidak semua orang bisa mengikuti sistem filsafat Astika dan tidak semua orang juga bisa memahami bahwa Sri Krishna adalah Bhagavan, aspek personalitas Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang tingkat kecerdasan spiritualnya masih rendah akan secara bertahap dituntun dalam sistem filsafat yang lain yang umumnya menitikberatkan pada karma-kanda (kegiatan untuk membuahkan hasil).

Sistem filsafat yang bertingkat yang nampak begitu berbeda dan seolah-olah bertentangan memang diciptakan atas perintah Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu contohnya adalah sebagaimana perintah Sri Krishna kepada Dewa Siva untuk menciptakan filsafat palsu Mayavada sebagaimana tertuang dalam Padma Purana Uttara Kanda 62.31; “Svagamaih kalpitas tvam ca janan mad vimukhan kuru, ma ca gopaya yena syat srtir esottarottara, jadikan penduduk pada umumnya tidak mengetahui diri-Ku (sebagai Tuhan Yang Maha Esa) dengan menyajikan tafsiranmu sendiri atas pustaka Veda. Juga tutupi Aku sebegitu rupa sehingga orang-orang menjadi lebih tertarik memajukan peradaban material yang melahirkan generasi hampa pengetahuan spiritual”. Orang awam yang mendengar sloka ini sudah pasti memandang aneh, kok bisa Tuhan menciptakan sistem filsafat yang membuat umatnya tidak mengerti pengetahuan spiritual? Bagaimana logikanya?

Sebagaimana contoh kasus perintah Sri Krishna kepada Dewa Siva disini, dimana kita ketahui Siva adalah tamo guna avatara yang salah satu tugasnya mengangkat para jiva yang telah sangat merosot menjadi hantu, dan mahluk halus jahat lainnya. Jiva-jiva ini merosot sedemikian rupa karena tidak mampu mengatasi sifat-sifat alam tamas yang begitu tebal menyelimuti dirinya terutama sekali pada Kali Yuga ini (sa kaler tama sa smrtahBhagavata Purana 12.3.30). Kondisi ini menyebabkan kebanyakan manusia menjadi sangat terikat pada kenikmatan indria duniawi dan mendorong mereka melakukan bermacam-macam asubha-karma, perbuatan kotor dan jahat. Supaya mereka tidak terlalu jatuh, maka diturunkanlah kitab suci-kitab suci yang masuk dalam kategori tamasa-guna (dark scriptures). Dalam kitab suci-kitab suci tamasik ini orang-orang diajarkan pelaksanaan ritual yang mengandung himsa karma (pembunuhan/penyemblihan hewan) untuk memuaskan indria dengan mengikuti aturan ketat dan rumit yang tentunya dimaksudkan agar mereka tidak membunuh hewan secara sewenang-wenang. Dalm kitab tamasik ini orang-orang juga diajarkan untuk melakukan subha-karma (perbuatan bajik dan saleh). Sehingga dengan berpegang teguh pada ajaran kitab suci-kitab suci tamasik ini kehidupan mereka diharapkan tidak semakin merosot dan secara bertahap, meskipun harus melalui proses punarbhava mereka akan semakin maju dalam spiritual. Disamping itu, orang-orang yang hidup pada Kali Yuga yang penuh dengan kegelapan sangatlah sulit mengikuti prinsip-prinsip pengendalian indria-indria jasmani sebagaimana yang tercantum dalam Veda. Karena itu mereka harus dibuatkan aturan-aturan berupa kitab suci tamasik agar mereka tidak semakin merosot dalam kelahiran yang lebih rendah. Sifat alam tamas yang pekat pada Kali Yuga juga menyebabkan orang-orang berpikir keliru (sarvarthan viparitams caBhagavad Gita 18.32), Tuhan dikatakan bukan Tuhan dan yang bukan Tuhan dikatakan Tuhan, dengan kata lain mereka tidak bisa mengerti siapa itu Tuhan. Agar orang-orang seperti ini tidak melakukan kesalahan (Aparada) terhadap-Nya, yang menyebabkan merek jatuh dalam kehidupan yang lebih rendah, maka Sri Krishna berkata kepada Siva; “jadikan mereka tidak mengenal-Ku dengan menyajikan tafsirmu sendiri atas kitab suci Veda”.

Demikianlah setiap orang akan terarahkan secara alami untuk mengikuti salah satu cabang filsafat yang sesuai dengan guna (karakter, watak, pembawaan) dan karmanya masing-masing. Seseorang yang berwatak asurik akan menekuni sistem filsfat yang lebih mengarah pada karma kanda dan himsa karma. Orang yang sangat materialistis akan lebih diarahkan pada filsafat nastika yang atheis sehingga mereka terhindar dari sikap aparad terhadap Tuhan. Orang yang lebih mengedepankan logika mungkin akan tertarik dengan sistem filsafat sankya dan hanya orang-orang yang memiliki guna dan karma yang mulialah yang mampu mengikuti sistem filsafat yang bersifat satvik.

Dengan demikian tidak ada alasan bagi penganut Veda untuk saling menyalahkan, mengkafirkan dan menjustis sebuah aliran filsafat sesat selama apa yang mereka lakukan benar-benar berdasarkan pada sastra Veda.

Guru Barat & Guru Timur, dikotomi orang-orang bodoh

Guru Barat & Guru Timur, dikotomi orang-orang bodoh

 

Guru Barat & Guru Timur, dikotomi orang-orang bodoh

Dewasa ini dalam sebuah garis perguruan Hindu, muncul sebuah golongan ekslusif yang menyatakan bahwa guru yang bona fide hanyalah guru-guru yang terlahir sebagai orang Timur (dalam hal ini etnis India). Penganut paham ini umumnya tidak respek dan tidak menaruh hormat pada guru-guru Veda yang berasal dari etnis lain, terutama sekali dari orang-orang Barat. Alasan mereka sederhana, mereka beranggapan bahwa mereka yang lahir diluar tanah Bharata terlahir sebagai orang candala yang masa kecilnya dihabiskan dalam berbagai kehidupan berdosa, sedangkan mereka yang lahir di India adalah roh-roh saleh yang beruntung dan sejak kecil mereka sudah berhadapan dengan tradisi Veda, sudah terbiasa menjalankan disiplin Veda yang suci sehingga jauh lebih berkualifikasi dari pada mereka yang baru mengenal Veda pada masa remaja/dewasanya. Karena itulah golongan ini dengan sangat fanatiknya hanya mau menerima guru dari India dan tidak jarang merendahkan guru-guru Hindu yang terlahir sebagai etnis non-India.

Artikel ini saya tulis bukan untuk mengorek dan memperbesar luka yang dibuat oleh segelintir oknum. Tidak juga karena saya ada di pihak yang berseberangan dengan mereka oleh karena guru spiritual Veda saya adalah orang Barat, tetapi hanya berusaha meluruskan pandangan keliru yang muncul dari angan-angan filsafat hampa segelintir pihak-pihak tertentu yang tidak mau tahu akan apa yang sudah diuraikan Veda mengenai kualifikasi seorang guru kerohanian. Sehingga secara pribadi saya berharap, mereka yang membaca artikel ini dan berlum terkontaminasi “virus guru barat dan guru timur” bisa berpikir lebih jernih dan akhirnya mendapatkan seorang guru bukan karena terinveksi “virus tersebut”, melainkan murni karena kata hati dan karena memang guru tersebut adalah guru yang paling cocok, yang kira-kira paling mampu membimbing dirinya dalam kerohanian secara pribadi. Memilih seorang guru kerohanian tidak ubahnya bagaikan memilih seorang pasangan hidup. Kita memilih beliau karena kita merasa dekat dan merasa beliaulah yang cocok membimbing kita. Bukan karena paksaan dan propaganda tidak jelas sebagaimana isu “guru barat dan guru timur” yang gencar digemakan belakangan ini.

Pustaka Veda menguraikan bahwa untuk meniti jalan spiritual maka seseorang harus berpijak pada 3 pondasi dasar, yaitu sastra (kitab suci), sadhu (pergaulan suci) dan yang tidak kalah pentingnya adalah guru (spiritual master). Ketiga pilar ini bagaikan seseorang yang mencari suatu alamat yang belum dia ketahui berbekal kompas (analogi guru), peta (analogi sastra) dan informasi orang-orang sekitar yang tahu lokasi tersebut (analogi sadhu). Ketiadaan satu pilar ini akan membuat pencaharian kita dalam kerohanian pincang dan menyulitkan. Bhagavad Gita mengatakan bahwa ajaran kerohanian Veda hanya bisa dimengerti dengan proses sabda dari barisan guru-guru kerohanian yang dapat dipercaya (parampara); “evaḿ paramparā-prāptam imaḿ rājarṣayo viduḥ sa kāleneha mahatā yogo naṣṭaḥ parantapa”(Bg.4.2) dan “tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā upadekṣyanti te jñānaḿ jñāninas tattva-darśinaḥ (Bg. 4.34). Dalam Sri Guruvastaka  sloka ke-8 juga disebutkan pentingnya seorang guru kerohanian, yaitu sebagai berikut: “yasya prasadad bhagavat-prasado yasyaprasadan na gatih kuto ‘pi dhyayan stuvams tasya yashas tri-sandhyam vande guroh shri-charanaravindam, Atas karunia dari guru kerohanian seseorang menerima berkat dari Tuhan. Tanpa karunia dari guru kerohanian, seseorang tidak akan dapat mencapai kemajuan apapun (dalam bidang kerohanian). Karena itu hamba harus selalu ingat dan memuji guru kerohanian. Paling tidak tiga kali sehari hamba harus sujud hormat kepada kaki padma guru kerohanian hamba”. Jadi, keberadaan seorang guru kerohanian mutlak diperlukan dalam mempelajari Veda.

Lalu bagaimana kita bisa memandang seorang guru kerohanian adalah guru kerohanian yang bona fide yang mampu menuntun kita menyebrangi lautan kehidupan dan kematian ini? Bisakah kita membuat dikotomi kelompok guru-guru berdasarkan kelahirannya dan masa lalunya?

Mempertanyakan kedudukan dan kredibilitas seorang guru kerohanian berdasarkan kelahiran dan masa lalunya sama halnya dengan kita mempertanyakan varna seseorang dalam sistem catur varna tetapi memandang siapa bapak dan ibunya sehingga yang akan kita temukan hanyalah penyimpangan sebagaimana munculnya sistem kasta yang menggerogoti Hindu dari dalam saat ini. Narada Muni, seorang Dewa Rsi yang paling dihormati dalam sastra-sastra Veda dan bebas berkelana keluar masuk alam rohani ternyata dulunya hanyalah anak seorang pelayan. Maha Rsi Valmiki, penulis Ramayana adalah seorang mantan perampok, pembunuh dan pemerkosa yang bernama Ratnakara tetapi akhirnya bertobat berkat wejangan suci dari Rsi Narada. Demikian juga dengan Maha Rsi Parasaramuni yang terlahir dari keluarga Sudra. Ternyata jika kita runut lebih jauh, sangat banyak orang-orang suci Hindu yang tersurat dalam kitab suci Veda muncul dari golongan-golongan rendah dan tidak jarang awalnya bertabiat asurik. Oleh karena itu, adakah alasan untuk melakukan dikotomi atas asal-usul kelahiran dan masa lalu seorang guru?

Secara singkat seorang guru kerohanian yang bona fide harusnya beliau yang sudah menyerahkan dirinya secara total kepada Tuhan, tidak lagi dibebani oleh ikatan material, tugas kewajiban kepada istri dan keluarga.  Mengenai hal ini secara intriksik dijelaskan dalam Bhagavad Gita 18.42 dan Bhagavata Purana 11.17.13 yang membahas catur varna. Disana kita bisa memetik intisari bahwa seorang guru kerohanian (yang juga seorang Brahmana) adalah beliau yang telah memiliki sifat-sifat; Kedamaian hati (samah), Terkendali diri (damah), Kesederhanaan (tapah), Kesucian (saucam), Toleransi (ksantir), Kejujuran (arjavam), Berpengetahuan rohani (jnanam), Bijaksana. (vijnanam), Agamis (astikyam), Berpuas hati (santosah), Pengampun (ksanthih), Bhakti kepada Tuhan (bhakti), dan Kasih sayang (daya). Sehingga dengan demikian, jika seseorang telah memenuhi syarat dasar ini, mengikuti sistem parampara dan mampu melakukan transfer ilmu, maka dia sangat layat diangkat sebagai seorang guru meskipun dia lahir sebagai orang cacat, hina dan rendah dari keluarga candala, ataupun pernah berbuat dosa dimasa lalu.

Tindakan merendahkan seorang guru kerohanian adalah termasuk tindakan Aparadha (guru-aparadha/vaisnava-aparadhna) atau tindakan kesalahan terhadap seorang guru. Seorang guru yang bona fide, bagaimanapun latar belakangnya pada dasarnya adalah seorang Vaisnava (penyembah Tuhan) dan dalam 10 jenis kesalahan terhadap nama suci Tuhan dinyatakan bahwa vaisnava-aparadha adalah kesalahan yang paling fatal dalam usaha seorang calon bhakta memuja dan mendekatkan diri kepada Tuhan.  Dalam Adi Purana, Siva Purana dan juga Padma Purana sudah menegaskan bahwa pemujaan yang tertinggi adalah kepada bhakta dari Sri Hari (Tuhan), yaitu sang guru kerohanian. Dengan menghina atau tidak hormat kepada seorang guru kerohanian / sanyasi meskipun beliau bukan guru kita secara langsung sama artinya tidak hormat kepada Sri Hari dan dengan demikian otomatis kita tidak akan pernah bisa mencapai pada Sri Hari sebagaimana yang menjadi tujuan hidup terakhir kita.

Berpikirlah seribu kali jika dalam benak anda pernah terlintas membedakan guru-guru kerohanian bukan berdasarkan standar dasar yang ditetapkan kitab suci, tetapi memandang mereka berdasarkan kelahiran dan masa lalunya. Karena itu adalah kesalahan fatal bagi kita yang mencoba menekuni jalan bhakti. Jangan lupa bahwa Tuhan tidak memandang kita berdasarkan pada badan yang kita pakai saat ini, tidak peduli apakah kita terlahir sebagai manusia, binatang tumbuhan ataupun hanya sebuah virus kecil. Dalam kaitan ini Sri Krishna menasehati Arjuna dengan mengatakan; “vidyā-vinaya-sampanne brāhmaṇe gavi hastini śuni caiva śva-pāke ca paṇḍitāḥ sama-darśinah, Para resi yang rendah hati, berdasarkan pengetahuan yang sejati, melihat seorang brahma yang bijaksana dan lemah lembut, seekor sapi, seekor gajah, seekor anjing dan orang yang makan anjing dengan penglihatan yang sama” (BG.5.18). Beliau sendiri kembali dengan tegas mengatakan dalam Bhagavad Gita 4.36-37; “api ced asi päpebhyaù sarvebhyaù päpa-kåt-tamaù sarvaà jïäna-plavenaiva våjinaà santariñyasi yathaidhäàsi samiddho ‘gnir bhasma-sät kurute ‘rjuna jïänägniù sarva-karmäëi bhasma-sät kurute tathä, Walaupun engkau dianggap sebagai orang yang paling berdosa diantara semua orang yang berdosa, namun apabila engkau berada didalam kapal pengetahuan rohani, engkau akan dapat menyeberangi lautan kesengsaraan. Seperti halnya api yang berkobar mengubah kayu bakar menjadi abu, begitu pula api pengetahuan membakar segala reaksi dari kegiatan material sehingga menjadi abu, wahai Arjuna”. Lebih lanjut dalam Bhagavad Gita 12.10 Beliau bersabda; “abhyāse ‘py asamartho ‘si mat-karma-paramo bhava mad-artham api karmāṇI kurvan siddhim avāpsyasi, Aku sangat mencintai orang yang mengikuti jalan bhakti yang kekal ini, tekun sepenuhnya dengan keyakinan, dan menjadikan Aku sebagai tujuan tertinggi. Jadi buang niat anda jauh-jauh untuk menghakimi seseorang berdasarkan kelahiran dan masa lalunya, apa lagi mereka yang melalui otoritas Veda telah diakui dan diangkat sebagai seorang guru kerohanian atau sanyasi.

Govardhan Puja, pemujaan pada gunung

Govardhan Puja, pemujaan pada gunung

Govardhan Puja, pemujaan pada gunung?

Ngetopnya tayangan serial kartun “Little Krishna” ternyata memberikan kesan yang mendalam kepada masyarakat Indonesia. Film yang disadur dari kitab suci Hindu tersebut mampu memukau para penonton. Bukan hanya anak-anak, orang dewasapun tidak kuasa melewatkan film seri tersebut. Saking ngetopnya, bahkan film seri Little Krishna sampai ditayangkan berulang-ulang di salah satu stasiun TV. Melejitnya tayangan kartun ini tentu saja meningkatkan popularitas dan pemahaman masyarakat umum tentang siapa itu Krishna. Sebagian besar dari mereka pasti setuju mengatakan Krishna adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa. Siapa lagi kalau bukan Tuhan yang bisa membuat dewa Brahma dari seluruh alam semesta datang dan bersujud? Siapa lagi yang bisa membuat seluruh para dewa menyembah? Hanya saja, ternyata terdapat sebuah adegan yang mengganjal pada hati sebagian penonton. Yaitu adegan pemujaan kepada bukit Govardhan. Sebagian dari mereka mencibir dan berkata; “kenapa bukit bisa di puja? Apa orang Hindu memuja benda mati yang nyata-nyata bukan Tuhan?”

Asal mula pemujaan kepada bukit Govardhan sebagaimana disebutkan dalam Visnu Purana, dimulai dari kisah perseteruan antara Sri Krishna dengan dewa Indra. Pada masa itu dikisahkan bahwa para penduduk Vrindavan hidup dari bertani dan beternak sapi. Mereka sangat tergantung pada kesuburan tanah yang mereka tempati. Menurut mereka kesuburan sangat dipengaruhi oleh karunia dewa Indra yang berkuasa atas hujan. Itulah sebabnya kenapa penduduk Vrindavan selalu melakukan festival Indra Puja sebagai persembahan yang ditujukan kepada dewa Indra agar beliau selalu berkarunia dan tidak menghukum mereka dengan kemarau panjang.

Pada suatu hari di saat para penduduk Vrindavan sibuk mempersiapkan festival pemujaan kepada dewa Indra dengan mengumpulkan berbagai hasil pertanian, mengolah berbagai produk susu dan menghiasnya sedemikian rupa, Sri Krishna kecil datang kepada ayahnya yang sedang berkumpul dengan para tetua Vrindavan yang lain. Sri Krishna mempertanyakan buat apa upacara ini harus diadakan. Nanda Maharaj sejenak berpikir dan menatap wajah putranya. Akhirnya beliau berusaha menjelaskan dengan panjang lebar bahwa upacara itu penting untuk memohon karunia kepada Indra sebagai penguasa hujan dan sebagai ucapan terimakasih karena telah memberikan berkah kesuburan. Namun Sri Krishna tidak puas dengan jawaban ayahnya tersebut dan Beliau memberikan argumen yang seolah-olah mengarah ke filsafat karma-mimamsa. Beliau mengatakan bahwa semua yang diperoleh oleh masyarakat Vrindavan adalah karena karma dari perbuatan yang telah mereka lakukan sesuai dengan hukum karma yang sudah ditetapkan. Para dewa sama sekali tidak punya hak melawan hukum karma yang sudah ditetapkan karena sesungguhnya para dewa hanyalah abdi Tuhan yang diberikan tugas menjalankan tugas dan fungsinya. Yang memberikan karunia secara langsung adalah Tuhan sendiri, bukan para dewa. Beliau juga menjelaskan bahwa setiap mahluk hidup dan bahkan benda mati sekalipun memiliki perannya masing-masing. Dewa memiliki peran sebagai aparatur pemerintahan alam semesta, Brahmana berkewajian membina spiritual masyarakat, Ksatria harus melindungi rakyatnya, Vaisya harus bergerak dalam perekonomian dan seorang sudra harus bersedia melayani golongan yang lain. Tanah, air, udara dan semua benda mati lainnya seremeh apapun itu juga memiliki peran yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Semuanya harus diberikan penghargaan dan penghormatan sesuai dengan perannya masing-masing. Sehingga dalam hal ini, masyarakat Vrindavan tidak perlu melakukan upacara Indra puja. Dan dengan berbagai argumen yang membuat ayahnya, para tetua dan penduduk Vrindavan mengikuti-Nya, Sri Krishna menyatakan kalau yang lebih patut dipuja adalah bukit Govardhan yang telah menjadi media bercocok tanam dan tempat ternak sapi-sapi mereka merumput setiap harinya serta para brahmana lokal yang telah khusuk dalam kegiatan spiritual.

Akhirnya upacara Indra Puja batal dilakukan dan para penduduk mengikuti perintah Sri Krishna untuk melakukan festival perayaan untuk menghormati bukit Govardhan dan persembahan kepada para brahmana. Melihat kejadian ini, tentu saja dewa Indra yang sedang diselimuti ego kekuasaan menjadi marah besar. Seketika itu juga dewa Indra mengirimakan hujan badai yang sangat lebat sehingga menyebabkan banjir bandang luar biasa di sekitar Vrindavan. Para penduduk ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri dengan berbagai cara. Singkat cerita, dikisahkanlah Sri Krishna akhirnya mengangkat bukit Govardhan hanya dengan menggunakan jari kelingking-Nya dan meminta seluruh penduduk serta hewan-hewan peliharaan di Vrindavan berlindung di bawah bukit yang Beliau angkat tersebut.

Setelah berlangsung sekian lama akhirnya dewa Indra sadar bahwa yang dia hadapi bukanlah seorang anak biasa, tetapi perwujudan dari Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, pujaannya. Akhirnya dewa Indra-pun menghentikan hujan badai dan datang ke Govardhan lalu bersujud memohon maaf kepada Sri Krishna atas kehilafannya. Para dewapun berdatangan dan mengucapkan doa-doa pujian kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa yang sedang melakukan lila rohani. Kepada seluruh penduduk Vrindavan, Sri Krishna akhirnya mengidentifikasikan diri Beliau sebagai bukit Govardhan. Beliau kembali memperlihatkan kemahakuasaan-Nya dengan menyantap semua makanan yang dipersembahkan pada perayaan tersebut. Sejak saat itulah penduduk Vrindavan selalu melakukan upacara persembahan kepada bukit Govardhan sebagai media pemujaan kepada Sri Krishna setiap tahunnya.

Dewasa ini, tradisi Govardhan Puja diperingati sehari setelah festival Deepawali yang pada tahun 2010 ini telah berlangsung pada hari Minggu, 7 November yang lalu. Festival dilakukan dengan memasak 108 jenis makanan yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai gunungan makanan yang oleh penduduk setempat disebut sebagai “ankut”. Mereka juga biasanya melakukan parikrama mengelilingi bukit Govardhan. Untuk umat Hindu, khususnya para Vaisnava yang berdomisili jauh dari Govardhan biasanya juga memperingati dengan membuat masakan yang dibentuk dan dihias sedemikian rupa sehingga membentuk tumpeng dan digambarkan sebagai sebuah duplikasi bukit Govardhan.

Sepertinya, tradisi tumpengan yang berkembang di Nusantara juga memiliki kaitan yang sangat erat dengan tradisi Govardhan Puja ini. Di Jawa sendiri dikenal adanya tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono dan Tumpeng Robyong. Sedangkan di Bali tumpeng sepertinya sudah mengalami transformasi ukuran. Tumpeng-tumpeng di bali cenderung berukuran kecil. Namun demikian tentu saja ukuran disini tidak merubah makna yang terkandung di dalamnya. Baik tradisi Jawa dan Bali masih tetap menjadikan tumpeng sebagai penggambaran terhadap gunung/bukit yang menggambarkan kemakmuran sejati. Sehingga tidaklah salah kalau gunung memiliki nilai mistik dan spiritual tersendiri dalam masyarakat kita.

Ternyata tradisi penghormatan terhadap gunung tidak hanya ada di India atau di Jawa dan Bali, orang Yunani menganggap gunung Olympus sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii masyarakatnya percaya kalo gunung Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Orang Babylonia menghormati Gunung Ziggurat, orang Persia kuno menghormati Gunung Elbruz, orang Jerman kuno memuja Gunung Humingbjorg, orang Inggris kuno memuja Gunung Irmingsul, dan bagi orang China kuno Gunung Khun Lun dianggap sebagai gunung yang suci.

Demikianlah meskipun tidak banyak orang yang mengenal tradisi Govardhan Puja, namun pada kenyataannya tradisinya sudah mendarah daging dalam sebagian besar kehidupan masyarakat manusia di dunia.

Tri Hita Karana

Tri Hita Karana

Dalam pustaka Bhagawadgita Bab IV sloka 10, dinyatakan bahwa pada jaman dahulu Tuhan mencipta manusia bersama bakti persembahan-Nya, dan bersabda, “Dengan ini engkau akan berkembang biak dan terimalah dunia ini sebagai kamadhuk.” Kamadhuk artinya yang dapat memenuhi segala keinginan.
Dunia sebagai kamadhuk, yang digambarkan sebagai sapi perahan. Maknanya adalah susunya boleh diperah, tetapi sapinya harus selalu dirawat. Demikian pula dengan dunia atau alam ini boleh dieksploitasi, tetapi juga harus selalu dirawat dan dilestarikan.

Tercipta Hubungan
Sejak penciptaan itu, terjalinlah hubungan manusia dan Tuhan sebagai penguasa alam semesta.
Sejak dititahkan untuk berkembang, manusia pun berkembang merambah seluruh pelosok dunia. Sejak itu timbul hubungan manusia dengan manusia. Demikian pula sejak dunia ini sebagai kamadhuk dihadiahkan kepada manusia, terjadilah hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam, melahirkan kearifan lokal yang disebut TRI HITA KARANA.
1.Hubungan manusia dengan Tuhan

Hubungan manusia dengan Tuhan
dijalin dengan upaya selalu mendekatkan diri kepada-Nya, dengan cara melaksanakan persembahyangan atau pemujaan sebagaimana diamanatkan dalam Bhagawadgita III sloka II. Oleh karena itu pujalah Tuhan, semoga Tuhan memberkati engkau. Dengan pujaanmu, engkau mencapai kebijaksanaan tertinggi.

2.Hubungan manusia dengan sesamanya

Atharvaveda XII.1.45.

Janam bibhratî bahudhâ vivâcasam nana
dharmanam prthiviyathaukasam,
sahasram dhara dravinasya me duham dhruveva dhenur anapasphuranti.
Artinya :
“bekerjalh keras untuk kejayaan ibu pertiwi,tumpah darah dan bangsamu yg menggunakn berbagai bahasa.Berikanlah PENGHARGAAN yg pantas KEPADA mereka yg menganut AGAMA yg BERBEDA.HARGAILAH mereka seluruhnya SEPERTI halnya KELUARGA yg tinggal dlm satu rumah.Curahknlah kasih sayangmu,bagaikan induk sapi yg selalu membrikan susu kpada manusia.Bunda pertiwi akan memberikan kekayaan dan kesejahteraan kepada kamu,umat manusia sbg anak2nya””

Hubungan manusia dengan sesamanya
hendaknya dengan menyadari diri sebagai sahabat dari sesama manusia, baik dalam hubungan sesama agama, antarsuku, ras, dan antaragama. Tidak perlu memandang perbedaan asal usul maupun budaya, kita semua adalah teman dari semua ciptaan Tuhan, karena berasal dari pencipta yang sama serta diisi dan digerakkan oleh sumber hidup yang sama pula. Pandang memandanglah sebagai sahabat, demikian ditegaskan dalam Yajur Veda XXXVI.18.

3.Melestarikan Alam
Alam semesta

Melestarikan Alam
Alam semesta, khususnya dunia ini, adalah tempat di mana kita hidup. Ia memberi apa yang kita butuhkan. Oleh karena itu, alam lingkungan hendaknya jangan hanya dimanfaatkan, tetapi juga ada upaya pelestarian. Bhagawadgita III.14 mengamanatkan demikian, “Karena makanan makhluk (menjadi) hidup, karena hujan tumbuhan (menjadi) hidup, karena persembahan hujan turun, dan persembahan lahir dari kerja.”

kesimpulan :
Tri Hita Karana adalah Tiga hubungan yang menyebabkan kebahagian
bagian-bagianya yakni:
1.Prahyangan yaitu hubungan manusia dg Tuhan
2.Pawongan yaitu hubungan manusia dg manusia
3.Palemahan yaitu hubungan manusia dg alam sekitar.

Tri Hita Karana

Tri Hita Karana

Dalam pustaka Bhagawadgita Bab IV sloka 10, dinyatakan bahwa pada jaman dahulu Tuhan mencipta manusia bersama bakti persembahan-Nya, dan bersabda, “Dengan ini engkau akan berkembang biak dan terimalah dunia ini sebagai kamadhuk.” Kamadhuk artinya yang dapat memenuhi segala keinginan.
Dunia sebagai kamadhuk, yang digambarkan sebagai sapi perahan. Maknanya adalah susunya boleh diperah, tetapi sapinya harus selalu dirawat. Demikian pula dengan dunia atau alam ini boleh dieksploitasi, tetapi juga harus selalu dirawat dan dilestarikan.

Tercipta Hubungan
Sejak penciptaan itu, terjalinlah hubungan manusia dan Tuhan sebagai penguasa alam semesta.
Sejak dititahkan untuk berkembang, manusia pun berkembang merambah seluruh pelosok dunia. Sejak itu timbul hubungan manusia dengan manusia. Demikian pula sejak dunia ini sebagai kamadhuk dihadiahkan kepada manusia, terjadilah hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam, melahirkan kearifan lokal yang disebut TRI HITA KARANA.
1.Hubungan manusia dengan Tuhan

Hubungan manusia dengan Tuhan
dijalin dengan upaya selalu mendekatkan diri kepada-Nya, dengan cara melaksanakan persembahyangan atau pemujaan sebagaimana diamanatkan dalam Bhagawadgita III sloka II. Oleh karena itu pujalah Tuhan, semoga Tuhan memberkati engkau. Dengan pujaanmu, engkau mencapai kebijaksanaan tertinggi.

2.Hubungan manusia dengan sesamanya

Atharvaveda XII.1.45.

Janam bibhratî bahudhâ vivâcasam nana
dharmanam prthiviyathaukasam,
sahasram dhara dravinasya me duham dhruveva dhenur anapasphuranti.
Artinya :
“bekerjalh keras untuk kejayaan ibu pertiwi,tumpah darah dan bangsamu yg menggunakn berbagai bahasa.Berikanlah PENGHARGAAN yg pantas KEPADA mereka yg menganut AGAMA yg BERBEDA.HARGAILAH mereka seluruhnya SEPERTI halnya KELUARGA yg tinggal dlm satu rumah.Curahknlah kasih sayangmu,bagaikan induk sapi yg selalu membrikan susu kpada manusia.Bunda pertiwi akan memberikan kekayaan dan kesejahteraan kepada kamu,umat manusia sbg anak2nya””

Hubungan manusia dengan sesamanya
hendaknya dengan menyadari diri sebagai sahabat dari sesama manusia, baik dalam hubungan sesama agama, antarsuku, ras, dan antaragama. Tidak perlu memandang perbedaan asal usul maupun budaya, kita semua adalah teman dari semua ciptaan Tuhan, karena berasal dari pencipta yang sama serta diisi dan digerakkan oleh sumber hidup yang sama pula. Pandang memandanglah sebagai sahabat, demikian ditegaskan dalam Yajur Veda XXXVI.18.

3.Melestarikan Alam
Alam semesta

Melestarikan Alam
Alam semesta, khususnya dunia ini, adalah tempat di mana kita hidup. Ia memberi apa yang kita butuhkan. Oleh karena itu, alam lingkungan hendaknya jangan hanya dimanfaatkan, tetapi juga ada upaya pelestarian. Bhagawadgita III.14 mengamanatkan demikian, “Karena makanan makhluk (menjadi) hidup, karena hujan tumbuhan (menjadi) hidup, karena persembahan hujan turun, dan persembahan lahir dari kerja.”

kesimpulan :
Tri Hita Karana adalah Tiga hubungan yang menyebabkan kebahagian
bagian-bagianya yakni:
1.Prahyangan yaitu hubungan manusia dg Tuhan
2.Pawongan yaitu hubungan manusia dg manusia
3.Palemahan yaitu hubungan manusia dg alam sekitar.